Dari semua itu hanya curah hujan yang tidak bisa dikendalikan manusia. Tiga faktor lainnya sangat dipengaruhi oleh prilaku manusia, termasuk kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa. Karena itu dalam bencana banjir, tidak bijak jika malah menjadikan curah hujan sebagai kambing hitam.
Sebagaimana pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyebutkan bahwa banjir besar yang terjadi akibat curah hujan yang tinggi selama 10 hari berturut-turut. Akibatnya sungai Barito yang memiliki daya tampung hingga 230 juta meter kubik ini tak mampu menahan derasnya luapan air.(REPUBLIKA.CO.ID, 18/01/2021)
Dari pernyataan di atas, menurutnya banjir yang melanda diakibatkan oleh curah hujan.
Baca Juga:Islam Menjamin Kesejahteraan RakyatKelangkaan Pupuk dan Kebutuhan pada Sistem Islam
Sebetulnya curah hujan hanya satu dari empat faktor tadi yang disebutkan di atas. Tiga faktor lainnya sangat dipengaruhi oleh daya dukung lingkungan. Degradasi lingkungan, di hulu dan hilir, juga di Daerah Aliran Sungai (DAS) berpengaruh besar atas terjadinya bencana banjir dan memperbesar skala dampaknya.
Perluasan tutupan lahan hingga semakin berkurangnya efektivitas DAS juga menjadi faktor lain yang memperburuk musibah banjir. Akibatnya jika memasuki musim hujan, banjir tidak bisa dihindari.
Menurut analisa Lembaga Penerbangan dan Antariksa (LAPAN) dalam kurun waktu 10 tahun terakhir tutupan lahan telah hilang di Wilayah Kalsel. Akibatnya ketika hujan mengguyur wilayah Kalsel selama 10 hari berturut-turut DAS Barito tidak mampu menampung air hujan sehingga meluap dan menyebabkan terjadinya banjir bandang.
Menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono menegaskan bahwa banjir besar di Kalimantan Selatan yang terjadi dalam beberapa hari terakhir bukan sekadar cuaca ekstrem, melainkan akibat rusaknya ekologi di tanah Borneo.(suara.com)
Kisworo juga menjelaskan, tata kelola lingkungan dan sumber daya alam (SDA) di Kalsel sudah rusak dengan daya tampung dan daya lingkungan yang tidak memadai. Hal ini di dukung dengan data laporan 2020 yang mencatat terdapat 814 lubang tambang di provinsi Kalsel milik 157 perusahaan batu bara yang masih aktif bahkan ditinggal tanpa reklamasi (Lokadata.id, 19/01/2021)
Semua itu patut diduga terjadi karena adanya kolusi kekuatan penguasa dan kekuatan oligarki. Dengan pembuatan UU baru seperti Minerba dan Omnibus Law Cipta Kerja. Semua itu akan terus berlangsung bahkan bisa makin parah.