Seri Belajar Filsafat Pancasila ke 31
Cerita tiwikrama ternyata tidak hanya dimiliki oleh epos Mahabarata. Hollywood pun punya epos tiwikrama dengan simanusia Hijau, Hulk-nya. Bedanya, tiwikrama Kresna dalam epos Mahabarata dipicu oleh kesaktian, namun Si Manusia Hijau Hulk yang diperankan bergantian oleh Eric Banna, Edward Norton dan lainnya, bertiwirama karena paparan sinar Gamma. Namun kesamaannya, pemicu tiwikrama adalah emosi yang hampir tak terkendali, membuncah keluar menggerakkan sel-sel di tubuhnya bermetamorfosis menjadi sesuatu yang lain, mengerikan. Hulk, berbadan kekar, besar dan kaku. Siap merusak. Bisa jadi Marvell terinspirasi tiwikramanya Sri Kresna. Namun dibuat ilmiah dan tidak mitos.
Tiwikrama juga sering kali terjadi dalam kehidupan nyata.
Sebut saja M, tak bermaksud untuk menghina ritual apalagi teologi agama jemaah agama lain. M hanya protes terhadap pelantang yang membuatnya merasa terganggu. Nada protesnya pun disampaikan dengan cara yang pelan dan disampaikan kepada kenalannya, bukan kepada pengurus tempat ibadah. Namun kemudian, berita “protes” M tersebut berkembang menjadi liar melebihi bentuk aslinya. Percis seperti “tiwikramanya” Sri Kresna atau Hulk. Menjadi hoaxs yang menggurita, menghancurkan, mengiris nilai kemanusiaan bahkan rumah Tuhan pun dirusak. Tak terkendali.
Di media sosial pun, hampir setiap saat, terjadi “tiwikrama”. Dorongan ingin menjadi selebriti media sosial, mendorong orang untuk selalu mengupdate status. Entah sedang makan, jalan-jalan, ngobrol ngalor-ngidul, tak terlewat untuk di update di status media sosialnya. Hingga ketika terjunggal di selokan pun menjadi status menarik. Tentu dengan menyertakan foto-foto narsis dan objek yang ada di hadapannya. Untuk diviralkan dan menjadi komoditas yang bernilai jual.
Baca Juga:KITA Subang Dideklarasikan, Kang Maman Ingatkan Kerusakan Alam Akibat Kerakusan ManusiaTugas Berat Mananti Kadinkes Baru dr. Maxi: Menyukseskan Vaksinasi Covid-19
Kemalasan, ketaksabaran dan dorongan narsis di media sosial alias update status, -orang menyebutnya syindrom nomophobia -asyik dengan handphone saat dengan orang lain dan fear of missing out (FOMO) yaitu takut ketinggalan informasi di media sosial. Syindrom tersebut menumpulkan daya kritis untuk mencari benar dari broad cast yang diterima.
Ketumpulan daya kritis ini menyebabkan banyak broad cast tak sahih di media sosial memicu ketumpulan kolektif. Dan melahirkan “tiwikrama”aksi kebrutalan yang tak manusiawi. Orang tak salah pun jadi korban. Belum kerusakan harta dan benda. Tiwikrama mewujud amock, kata Pramoedya AnantaToer.