Dan terjadinya “tiwikrama”kerusuhan sosial sering kali dipicu oleh kapitalisasi politik identitas berbasis sosial-politik dan agama. Dengan bumbu kepentingan dan keserakahan menjadi sedap tiwikrama amock dahsyat.
Kejadian yang menimpa M, menyebabkan “tiwikrama” pengrusakan beberapa tempat ibadah. Kejadian Ciketing beberapa waktu lalu, menyebabkan “tiwikrama”pengrusakan rumah dan pengusiran. Juga banyak terjadi di daerah lain. Orang perorang bertiwikrama dengan kelompok yang mudah mengusung isu agama dan identitas dan kepentingan tertentu mendorong menjadi “raksasa” kebrutalan tanpa rasa kemanusiaan.
Bahkan kesaktian Sri Kresna dalam bertiwikrama tak ada arti, dibanding tiwikrama hoaxs, dan pemanfaatan politk identitas, agama, sosial yang menjadi raksasa kebrutalan massa tanpa pri kemanusiaan.
Dunia pewayangan memang memberikan makna, walau lakonnya ditata sesuai alur cerita ki dalang. Dalam dunia pewayangan, lakon tiwikrama selalu terjadi. Bedanya, dalam lakon wayang, tiwikrama muncul setelah kesabaran dan kebijaksanaan habis, lalu murka, lalu begitu saja berubah menjadi berbagai bentuk yang menyeramkan dan ganas. Pembaca boleh berimaginasi sendiri, macam tiwikramanya Hulk, Allien atau Ghozilla di film-film fiksi.
Baca Juga:KITA Subang Dideklarasikan, Kang Maman Ingatkan Kerusakan Alam Akibat Kerakusan ManusiaTugas Berat Mananti Kadinkes Baru dr. Maxi: Menyukseskan Vaksinasi Covid-19
Politik Identitas bertiwikrama menjadi benteng baja paling tebal yang menabalkan kemanusiaan dan keadilan. Menabalkan kepekaan kemanusiaan dan keadaban individu maupun publik. Politik identitas yang berbasis agama, sosial, ekonomi, tak mengenal peri kemanusiaan. Sebab yang ada adalah kepentingan dan keserakahan semata. Dengan memanfaatkan sentimen kecil saja, politik identitas menghasilkan manusia-manusia yang berperilaku seperti “Butho”.
“Bila mereka sudah melawati titik terdalam dari ketakutan dan kecurgaannya,-satu golongan mana di bawah matari Tuhan ini, yang tidak bisa berpikir rasionil – dia akan melakukan dalam ledakan membabi buta yang dinamai amock,” begitu kata Pram dalam novel Anak Semua Bangsa, 247.
Menariknya lagi, kepentingan pribadi sering kali bertiwikrama menjadi keserakahan yang menghabiskan semua hal di muka bumi. Hingga batu,tanah, air, api dan nyawa manusia pun disantapnya. Keserakahan yang menghalau rasa kemanusiaan, merakuskan diri dalam memangsa keadaban tanpa rasa malu dan bersalah.
Sila ke dua menghadapi tantangan twikrama politik identitas yang melahirkan amock tanpa rasa kemanusiaan dan keadaban. Seharusnya Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab bertiwikrama menjadi keadilan penguasa yang menghamba kepada kemaslahatan rakyat. Bertiwikrama menjadi keadaban individu, keadaban penguasa dan keadaban publik yang menghargai kemanusiaan dan menjunjung keadilan. Tiwikrama yang masih jauh. Yang muncul adalah tiwikrama Bhuto keserakahan dan kebengisan atas dasar kerakusan. Mari kita renungkan.