Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 02396/A/SK/VIII/1986 Tahun 1986 tentang Tanda Khusus Obat Keras Daftar G (“Kepmenkes 2396/1986”).
Dalam pasal 2 peraturan ini, dikatakan bahwa obat keras hanya dapat diberikan dengan resep dokter dengan kriteria: pada etiket dan kemasan tercantum tanda khusus untuk obat keras dengan jelas.
PP No.51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian Pasal 24 (c)
Pasal tersebut mengatakan bahwa, “Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Baca Juga:Infrastruktur Untuk Rakyat Jaminan Siapa?Alat Palak Kesehatan ala Kapitalisme
Dari hal tersebut, jelas dinyatakan bahwa pemberian obat keras dimana antibiotik termasuk didalamnya memerlukan resep dokter, selain itu pelayanan dan penyerahannya pun dilakukan oleh seorang Apoteker sendiri.
Lalu bagaimana dengan apotek yang masih melanggar ketentuan tersebut?
Masih banyaknya masyarakat yang dapat memperoleh antibiotik tanpa resep dokter membuktikan bahwa masih rendahnya perhatian dan pengawasan pemerintah terkait hal tersebut. Padahal Negara Indonesia telah memiliki peraturan khusus terkait penjualan obat keras dimana antibiotik termasuk didalamnya. Peraturan tersebut diatur dalam Undang-Undang Obat Keras St. No.419 tgl. 22 Desember 1949 (Fernandez, 2013), dimana pada pada pasal 12 ayat 1 (a) dinyatakan bahwa pelanggaran bagi penjuaalan obat keras yang tidak sesuai ketentuan akan dikenakan hukuman penjara setinggi-tingginya 6 (enam) bulan dan denda uang setinggi-tingginya 5.000 gulden yang bila di konversikan kedalam rupiah sebesar kurang lebih Rp39 juta. Selain itu dapat pula diberikan larangan untuk melakukan penjualan obat keras untuk jangka waktu setinggi-tingginya selama 2 tahun. Semua peraturan yang ada terkait antibiotik tidak dapat berjalan dengan baik tanpa adanya pengawasan yang ketat terkait pelaksanaan kebijakan tersebut. Pemerintah perlu turut andil dalam menangani dan mengawasi penjualan antibiotik di tempat yang tidak semestinya. Sidak atau inspeksi mendadak secara rutin di lapangan dapat menjadi salah satu upaya untuk memantau bagaimana jalannya peraturan yang telah ada dilapangan khususnya mengenai penjualan antibiotik.
Mengenai rendahnya kesadaran penggunaan antibiotik yang tepat pada masyarakat, diharapkan pula apoteker dapat memberikan edukasi dan konseling guna pengendalian resistensi antibiotik baik kepada konsumen, tenaga kesehatan, maupun anggota keluarga konsumen. Apotek disarankan untuk tidak melayani permintaan antibiotik tanpa resep dokter guna mengurangi masalah resistensi antibiotik meluas. Selain itu penyuluhan kepada masyarakat luas juga sebaiknya dilakukan dengan bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain guna meningkatkan pengetahuan masyarakat luas mengenai antibiotik. Evaluasi yang berkelajutan diharapkan dapat memantau bagaimana respon masyarakat mengenai penyuluhan dan konseling tersebut dengan kaitannya dalam penggunaan antibiotic tanpa resep dokter.