Oleh : War Yati
(Warga Sumedang)
Publik dikejutkan dengan pemberitaan seorang perempuan bernama Eti Kusniawati yang mendapat SK pengangkatan sebagai guru CPNS yang ditempatkan di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Tana Toraja. Pasalnya, Eti yang merupakan alumni Geografi Universitas Negeri Makassar (UNM) adalah beragama kristen.
Menurut Eti, ia pun terkejut saat menerima SK tersebut. Ia tak mengira akan ditempatkan di Sekolah Islam. “Awalnya saya kaget ketika menerima SK dan mengetahui bahwa saya ditempatkan di MAN Tana Toraja. Saya pikirnya akan ditempatkan di sekolah umum sesuai agamaku,” ungkap Eti. Mengutip dari laman berita suarasulsel.id.
Usut punya usut, ternyata kebijakan ini digulirkan oleh Analis Kepegawaian Kementerian Agama (kemenag) Sulsel Andi Syaifullah. Menurutnya, kebijakan penempatan guru beragama kristen di Sekolah Islam atau Madrasah sejalan dengan Peraturan Menteri Agama (PMA) Republik Indonesia. Tentang pengangkatan guru madrasah khususnya pada Bab VI pasal 30.
Baca Juga:Pemanfaatan Lahan Sesuai SyariahWakaf Diminati, tapi Syariat Islam Dibuat Alergi
Dalam Bab VI pasal 30 dicantumkan tentang standar kualifikasi umum calon guru madrasah khususnya pada poin A, yaitu beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Rupanya poin itulah yang menjadi rujukan Andi Syaifullah sebagai dasar kebolehan guru selain beragama Islam mengajar di madrasah. Menurut Andi, poin di atas tidak menyebutkan bahwa guru madrasah harus beragama Islam.
“Kan guru non muslim yang ditempatkan di madrasah ini akan mengajarkan mata pelajaran umum, bukan pelajaran agama. Jadi saya pikir tidak ada masalah. Bahkan ini salah satu manifestasi dari moderasi beragama, dimana Islam tidak menjadi ekslusif bagi agama lainnya,” ungkapnya dilansir idtodaynews, sabtu (30/1).
Akhir-akhir ini kata moderasi memang sering diperbincangkan. Salah satunya adalah moderasi beragama. Moderasi atau moderat dimaknai dengan menerima nilai-nilai agama atau kebiasaan orang banyak. Bisa dikatakan juga bahwa moderasi adalah mereka yang hidup seperti halnya orang lain. Maka, meniru gaya hidup, cara berpakaian, cara bergaul, cara makan, dan lain sebagainya adalah moderasi dan hidup biasa-biasa saja tidak aneh-aneh.
Jika ukuran moderasi adalah apa yang berlaku di masyarakat, maka akan menjadi relatif. Seandainya di dalam masyarakat tertentu terdapat kebiasaan minum-minuman keras, berjudi, mengumbar aurat, bercampur baur antara laki-laki dan perempuan maka itu dianggap benar, dan yang benar itu berarti moderasi.