Sebaliknya, jika ada sekelompok atau individu kekeuh mempertahankan keyakinan menurut agamanya seperti berjilbab, tidak memakan makanan haram, berjanggut, memakai celana cingkrang, dan tidak ikhtilat tentu dianggap tidak moderasi. Dianggap aneh tidak seperti kebanyakan orang.
Menempatkan guru non muslim di sekolah Islam adalah bentuk moderasi, dan ini adalah kekeliruan. Guru, tidak hanya mentransfer ilmu, namun juga menanamkan kepribadian. Terkait kepribadian, sudah barang tentu apa pun yang dilakukan menurut apa yang diyakininya. Apa jadinya jika siswa menerima pemahaman yang berbeda dari ajaran agamanya sendiri. Tentu akan menimbulkan pemahaman kontradiktif dari apa yang diterima mereka selama ini dari guru-guru yang satu aqidah.
Moderasi yang saat ini diterapkan pelan tapi pasti akan menggeser nilai-nilai ajaran Islam yang seutuhnya. Siswa diajarkan tuk menerima nilai-nilai agama lain, membenarkan kebiasaan orang lain, bahkan mengikuti cara hidup orang kebanyakan walaupun bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam. Dengan demikian, selain moderasi berbahaya, moderasi juga dapat menjadikan pemikiran siswa menjadi flural. Membenarkan semua agama.
Baca Juga:Pemanfaatan Lahan Sesuai SyariahWakaf Diminati, tapi Syariat Islam Dibuat Alergi
Kalau inti dari moderasi hanya untuk menjaga keberagaman dan menghormati umat agama lain, seharusnya kembali pada konsep Al Quran. Karena kitab suci inilah muara kita dalam memahami Islam. Dalam Islam, menghormati keyakinan seseorang adalah keharusan, selama tidak menyalahi ketentuan syariat. Pun tentang keberagaman, Islam mengajarkan untuk melindungi, menghargai, dan menjamin keamanan orang yang berbeda keyakinan sehingga tercipta keamanan di masyarakat. Cukuplah Al Quran satu-satunya petunjuk untuk kehidupan. Mencampur-baurkan antara yang haq dan bathil merupakan pengkhianatan terhadap Al Quran itu sendiri, termasuk ide moderasi beragama.
Wallahua’lam.