Oleh: N. Vera Khairunnisa
Wabah corona yang sudah lebih dari satu tahun hadir di muka bumi ini benar-benar telah meninggalkan banyak dampak, bukan hanya bagi kesehatan namun juga ekonomi.
Dampak pandemi tersebut membuat aktivitas ekonomi terhambat, memunculkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), menambah angka kemiskinan, serta daya beli masyarakat menurun drastis. Semuanya itu berakibat pada kondisi resesi ekonomi yang sulit teratasi.
Dalam ekonomi makro, resesi atau kemerosotan adalah kondisi ketika produk domestik bruto (GDP) menurun atau ketika pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal atau lebih dalam satu tahun. Resesi dapat juga diartikan sebagai penurunan aktivitas ekonomi yang signifikan, berlangsung selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. (wikipedia. org)
Baca Juga:Pendangkalan Akidah Generasi Melalui ModerasiProduktivitas Lahan Kosong Dongkrak Ekonomi Rakyat
Resesi yang telah dialami oleh banyak negara, termasuk Indonesia sudah pasti berpengaruh juga pada Jawa Barat. Hingga tulisan ini dibuat, pertumbuhan ekonomi Jabar minus 2,39 persen pada triwulan 4/2020 yang tercatat masih resesi. (jabar.inews. id, 05/02/21)
Sebagai salah satu upaya untuk memulihkan ekonomi Jawa Barat, Kantor Perwakilan Wilayah Bank Indonesia (KPw BI) Jawa Barat mendorong peningkatan konsumsi masyarakat, terutama aparatur sipil negara (ASN).
Kepala KPw BI Jabar, Herawanto mengatakan, salah satu sektor yang cukup terdampak pandemi adalah usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Maka masyarakat menengah ke atas seperti ASN didorong belanja di market place yang mengakomodasi UMKM, borongdong. id. (jabar.inews. id, 10/02/21)
Pertanyaannya, apakah upaya tersebut mampu memulihkan ekonomi? Sebab, jika ditelaah, adanya resesi ini bukan hanya karena rendahnya daya beli masyarakat, namun ada begitu banyak faktor. Menurut Anwar Rosadi (Biro Hukum dan Jaringan Indonesia Change), berikut ini merupakan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya resesi:
Pertama, adanya praktik riba dan judi. Keduanya telah membentuk sektor non-riil dalam sistem ekonomi kapitalis baik dalam bentuk perbankan, asuransi, maupun perdagangan saham. Hal tersebut bisa memunculkan apa yang disebut oleh Paul Krugman (1999) sebagai ekonomi balon (bubble economy).
Kedua: sistem yang digunakan di bursa dan pasar modal, yaitu jual-beli saham, obligasi dan komoditi tanpa adanya syarat serah-terima komoditi yang bersangkutan. Semua itu memicu terjadinya spekulasi dan guncangan di pasar.