Adapun kepemilikan tanah dalam Islam di dapat dari enam cara, yaitu : Jual beli, waris, hibah, menghidupkan tanah mati (ihya’ul mawat), meletakkan batu di sekeliling tanah mati yang dihidupkan (tahjir) dan pemberian negara kepada rakyat (iqtha’).
Di dalam Islam keberadaan tanah, baik milik pribadi ataupun yang dikuasai oleh negara tidak boleh dipisahkan antara zat tanahnya dan aspek produktivitasnya. Oleh karena itu apabila di satu wilayah terdapat lahan kosong milik pribadi yang tidak produktif dan dibiarkan menjadi lahan mati selama tiga tahun berturut-turut, maka negara dalam hal ini Khalifah berhak mengambil alih dan menjadikannya lahan produktif yang bisa ditanami seperti sawah, ladang ataupun perkebunan dan lahan untuk dijadikan kawasan peternakan.
Seperti sabda Rasulullah Saw :
” Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. At-Tirmidzi dan Abu Dawud).
Baca Juga:Diskriminasi Jilbab Termasuk IslamofobiaDisperindag Karawang Tidak Naikan Target PAD, Berikut Alasanya
Dari sabda Rasulullah tersebut jelaslah bahwa seseorang berhak atas tanah mati yang dihidupkannya kembali (ihya’ul mawat) dan tidak disewakan kepada pihak lain atau dengan kata lain tanah itu kembali produktif dan di usahakan sendiri olehnya. Hal ini tidak dilarang dan tidak menjadi dosa asalkan memenuhi syarat-syarat tadi.
Demikian pula jika lahan kosong itu milik negara. Negara akan memberikan secara gratis lahan tersebut kepada siapa saja yang mau mengelolanya (tahjir). Ditambah lagi dengan memberikan biaya untuk produksi tanpa utang. Negara memberikan melalui mekanisme dana hibah yang berasal dari Baitul Mal kepada rakyat sehingga tidak memberatkan dan tidak merupakan utang-piutang.
Terkait dengan pemanfaatan lahan kosong milik pemerintah untuk dijadikan kawasan wisata kuliner, maka negara akan memberikan lahan kosong tersebut kepada rakyat yang mampu mengelolanya. Dengan sistem demikian tentu saja akan menarik minat masyarakat untuk berpartisipasi dalam mengelola lahan kosong tersebut, karena tidak memberatkan untuk rakyat. Mereka tidak perlu pusing memikirkan biaya pengelolaannya.
Misalnya mereka hendak berbisnis kuliner, maka mereka hanya tinggal memikirkan sumber daya tenaga saja untuk melakukan hal itu. Mereka tidak perlu memusingkan biaya untuk membeli atau menyewa lahan dan biaya produksi, karena semua sudah disediakan sepenuhnya oleh negara.