Namun demikian, dalam tataran fakta kita masih dapati kemirisan yang terjadi. Tak sedikit kepala daerah dan atau wakilnya di negeri ini mengambil pendapatan pribadi di luar apa yang menjadi haknya sesuai peraturan yang berlaku. Lebih jauh lagi publik pun dibuat geleng-geleng kepala mendapati perilaku korupsi yang banyak menyeret para kepala daerah. Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron mengungkap ada 429 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi (news.detik.com, 18/3/2021).
Hal itu terjadi karena prinsip kapitalisme sekuler mengungkung benak para punggawa negeri. Di alam kapitalisme, harta dan kemewahan menjadi satu hal yang dikejar tanpa batas. Ketakwaan pribadi retak oleh prinsip sekulerisme yang dianut. Aturan agama menjadi tak berdaya mengekang watak serakah yang muncul pada diri seseorang. Karena agama hanya diambil sekadar perkara ibadah mahdhah, juga dipandang bersifat privacy belaka. Sementara pengaturan urusan kehidupan diserahkan pada kecerdasan akal manusia untuk mengaturnya. Tak heran hawa nafsu pun berkelana tanpa batas ketika kesempatan ada di hadapan. Gaya hedonis pun menjangkiti hampir setiap diri.
Ditambah adanya fakta bahwa sistem politik demokrasi yang diambil negeri ini memiliki cacat bawaan. Ia mustahil disembuhkan, sedemikian cerdas dan kredibel pun seseorang yang menjalankannya. Di antaranya bahwa demokrasi itu berbiaya mahal. Sedari awal seorang calon pemimpin dikenalkan ke tengah publik hingga pelaksanaan pemilu, semua berbiaya fantastis. Maka ketika jabatan di genggaman, upaya mengembalikan modal pun dilakukan, bahkan jika pun harus melabrak rambu halal dan haram berupa korupsi.
Baca Juga:Jaminan Pangan dalam Sistem IslamMenko Airlangga Ungkap 5 Strategi Indonesia Pimpin Presidensi G20
Terkenang akan sifat mulia para pemimpin yang dilahirkan dari rahim peradaban Islam. Mereka menjadikan akidah dan syariat kaffah menjadi patokan dalam menjalankan tugasnya. Sabda Rasulullah menjadi pengingat,
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis tersebut menjadi motivasi terbaik bagi para pemimpin yang menjalankan syariat Islam untuk amanah dalam mengemban tugas. Mereka tak berani mengambil apa yang bukan haknya. Karena kelak akan berhadapan dengan pengadilan Allah di yaumil hisab.