Ketika pemerintah benar-benar fokus mengurus masalah dampak banjir tersebut, tentu akan melakukan berbagai cara seperti membangun bendungan, menentukan daerah yang sering terkena dampak banjir dan tidak membolehkan pengusaha korporasi membangun pemukiman di sekitar area tersebut. Kemudian membangun sungai buatan, kanal, saluran drainase untuk mengurangi penumpukan volume air dan mengalirkan aliran air, dan juga membangun sumur-sumur resapan di daerah tertentu.
Sungguh malang kondisi masyarakat di negeri ini. Tak tampak keseriusan penguasanya mengakhiri derita rakyat akibat banjir. Inilah mengapa begitu penting memperhatikan siapa penguasa yang dipilih untuk mengurusi rakyatnya. Bukan sekadar memilih penguasa saja tetapi juga memilih sistem yang akan diterapkan oleh penguasa yang terpilih.
Selama penguasanya bukan orang yang bertakwa dan amanah, lalu sistem negaranya bukan Islam, rakyat akan terus mendapatkan kebijakan yang tak manusiawi yang mengabaikan keselamatan mereka. Terlebih lagi paham yang diadopsi menjadikan keuntungan lebih berharga di atas segalanya, yang lain bahkan tidak menjadi prioritas.
Baca Juga:Program Petani Milenial ,Minim Sukses, Menuai PolemikBUMN Terjerat Utang, Salah Kaprah Pengelolaan Harta Negara
Kebijakan mendasar dalam Islam terkait dengan pembangunan tidak dilepaskan dari sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem ekonomi Islam dijalankan secara utuh dan murni dan berjalan dengan benar.
Ketika Rasulullah Saw membangun Madinah al-Munawarah sebagai pusat pemerintahan Negara Islam, terdapat empat unsur pokok dalam tata ruang dan pembangunan kota. Pertama, adalah masjid jami’ yaitu Masjid Nabawi. Kedua, adalah kediaman Rasulullah Saw. Ketiga, adalah pasar. Keempat, adalah pemukiman.
Dalam kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah, al-Mawardi,
“Qadhi Hisbah yang mengepalai Dar al-Hisbah (bagian perhitungan) berhak untuk melarang orang yang mendirikan bangunan di jalan yang digunakan lalu lintas, sekaligus bisa menginstruksikan kepada mereka untuk menghancurkan bangunan yang mereka dirikan. Sekalipun bangunan tersebut adalah Masjid. Karena kepentingan jalan adalah untuk perjalanan bukan untuk bangunan. Qadhi Hisbah juga berhak untuk melarang siapa pun meletakkan barang-barang dagangan dan bahan-bahan/alat bangunan di jalan-jalan dan pasar, jika barang dan bahan tersebut bisa memudaratkan orang. Dalam hal ini, Qadhi Hisbah berhak untuk melakukan ijtihad dalam menentukan mana yang mudarat dan mana yang tidak. Karena ini merupakan ijtihad dalam masalah konvensi (kepantasan umum), bukan masalah syar’i.” (Al- Mawardi, al-Ahkam as-Suthaniyyah, hlm 430-431)