Oleh: Inayah
Ibu Rumah Tangga dan Pegiat Dakwah
Program petani milenial yang sudah dijalankan kurang lebih tiga bulan, belum terlihat mengalami keberhasilan, justru menuai konflik. Pasalnya kenyataan di lapangan tidak sesuai dengan unggahan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, yang pernah mengupload keberhasilan salah satu petani. menurut Pakar kebijakan publik UPI Cecep Darmawan menyebut pemimpin perlu mengecek langsung kondisi di lapangan. Karena itu salah satu hal yang penting di lakukan oleh seorang pemimpin yaitu untuk turun ke bawah ( turba) di cek, betul ada yang berhasil boleh lah diupload, tapi kalau ada yang gagalpun harusnya diakui, ucap Cecep saat dihubungi News.detik.com, Senin (31/5/2021).
Menurut pemerintah Jabar dengan di adakannya program petani milenial adalah untuk menarik minat generasi milenial untuk bertani. Karena dengan adanya covid-19 ini, banyak generasi milenial yang rebahan saja jadi dengan digulirkanya program ini bisa bergerak para milenial dan lebih dari itu mampu mendongkrak kedaulatan pangan. Maka untuk menopang keberhasilan petani milenial, maka pemerintah akan menyediakan tanah pertanian, menyediakan modal, pupuk, dan akan menyerap hasil tani dengan harga yang pantas.
Namun pada faktanya, program ini masih terkendala dari segala aspeknya, para petani milenial yang target awal adalah mampu menampung lima ribu peserta namun banyak yang mengudurkan diri akibat ketidakjelasan program. artinya, konsepnya sangat berbau kapitalis dan kurang membumi, sehingga terbukti kurang dipahami oleh stakeholder terkait sebagai pelaksana program, sehingga mengakibatkan salah persepsi dalam koordinasi , sehingga tersisa 600 orang peserta saja.
Baca Juga:BUMN Terjerat Utang, Salah Kaprah Pengelolaan Harta NegaraIstiqomah dalam Beribadah
Dari sisi dana memberatkan para petani milenial, meskipun mereka mendapatkan kucuran dana namun ketika panen harus segera bayar, padahal panen belum tentu menghasilkan. Kadang juga apabila pesertanya masih punya cicilan lain ke bank maka tidak mendapat bantuan. artinya ada unsur riba. dari sisi pupuk pun jadi kendala pasalnya terjadi kelangkaan pupuk subsidi, Â akibat penyaluran pupuk subsidi kepada petani yang terdaftar dalam sistem e-RDKK( Elektronik Rencana Definitif Kebutuihan Kelompok). ini akibat ada kenaikan harga pupuk non subsidi, sehingga petani e-RDKK akhirnya mengambil jatah pupuk subsidi. karena pemerintah membedakan kebutuhan pupuk bagi petani.