Apalagi kementrian perindustrian telah mengatakan akan mempermudah penetapan Kawasan industri berstatus objek vital nasional bidang industri. Akhirnya akan semakin rancu mana yang boleh WFH dan WFO. Apalagi pengawasan yang minim sehingga mobilitas masyarakat tak signifikan berkurang.
Ditambah perilaku masyarakat yang sudah jenuh dengan berbagai kebijakan pemerintah yang sedari awal memang tak menguntungkan rakyat. Oleh karenanya, kebijakan ini besar kemungkinan gagal menyelesaikan pandemi. Bahkan bisa jadi kondisinya semakin parah lantaran masyarakat semakin merasa terdzolimi.
Rakyat Makin Sengsara
Direktur Utama Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira memperkirakan Adanya PPKM Darurat akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi kuartal III terkontraksi lebih dalam dan itu memicu terjadinya PHK masal. Kebijakan ini pun menurutnya akan memukul UMKM yang sudah mulai bangkit, kembali terpuruk dengan adanya kebijakan tersebut.
Baca Juga:TNI Bersiap! Ini Perintah Baru Jokowi dalam Penanganan Covid-19Klimaks Drama Subang Sejahtera
Lantas, bagaimana nasib rakyat korban PHK dan UMKM yang sangat terdampak dengan adanya PPKM Darurat ini? Sudahlah pembeli semakin sedikit, ditambah denda yang melangit bagi mereka yang melanggar.
Saat pemerintah mengatakan rumah adalah tempat teraman bagi kita semua untuk saat ini. Hal demikian tidak berlaku bagi rakyat kecil yang upahnya harian. Justru jika diam di rumah, mereka akan mati kelaparan. Karena Jika tidak keluar untuk bekerja atau berjualan, mereka tak akan mendapatkan uang untuk makan.
Sungguh nahas menjadi rakyat kecil. Keluar rumah mendapat ancaman kematian karena wabah. Diam di rumah pun terancam kematian karena kelaparan. Bukankah kebijakan ini sangat merugikan ekonomi rakyat?
Walaupun pemerintah telah memberikan Bantuan Tunai Langsung (BLT) kepada 3 juta pelaku UMKM sebesar 1,2 juta per bulan. Namun, lagi-lagi semua itu bukanlah solusi. Karena selain nominalnya yang sangat kecil, pelaku UMKM di Indonesia menurut OJK tercatat lebih dari 65 Juta di tahun 2021.
Lalu, jika hanya 3 juta yang diberikan bantuan, 62 juta sisanya bagaimana? Dan Ini baru masalah kebijakan yang serba nanggung dan terkesan asal-asalan. Belum lagi bicara kesalahan data dan korupsi yang akan selalu hadir dalam pelaksanaanya. Kasus korupsi Banson Mensos Juliari Batubara dan jutaan data fiktif penerima bansos adalah bukti tak terelakan.