Kasus 2 : Seorang penjahit wanita, suami tidak bekerja dan bersama 2 anak, yang satu penganggur dan satunya bekerja di perusahaan swasta. Sebelum pandemi, banyak pelanggan yang datang sehingga pekerjaan sampai lembur, begitu pandemi tiba sangat terasa, turun drastis sehingga dia harus menghemat belanja dan menggantungkan anaknya yang perempuan sambil menawarkan ke tetangga bila ingin menjahitkan baju. Sesekali mendapat bantuan dari Pemerintah.
Kasus 3 : Sopir yang melayani tour dan wisata, bekerja sama dengan biro jasa transportasi, dan kadang juga melayani pribadi yang membutuhkan. Sopir dengan satu isteri dan dua anak yang harus dihidupi, begitu tiba pandemi, pelanggan sepi dan akhirnya dia bertahan hidup dengan bekerja sama dengan sesma sopir untuk mendistribusikan sembako ke beberapa kota sekitarnya. Termasuk melayani pesanan sopir pribadi bila ada keperluan apapun tanpa kecuali. Sesekali mendapat bantuan dari Pemerintah.
Kasus 4 : Bu Yanto, seorang ibu yang memiliki 3 anak, mahasiswa yang putus kuliah, SMA, dan SD. Sehari- harinya jualan es buah di pasar sebagai tumpuan ekonomi keluarganya. Sementara suaminya tidak bekerja, kemudian usaha ternak ayam karena kontrakannya kebetulan berdekatan dengan pekarangan kosong. Pada saat pandemi seperti ini omset penjualannya mengalami penurunan karena penurunan pengunjung pasar, tidak seperti saat sebelum pandemi. Kontan saja pendapatannya juga mengalami penurunan. Beberapa penghematan yang dilakukan untuk bisa bertahan hidup antara lain dengan penghematan beaya makan sehari- hari dengan menu seadanya, mengurangi beaya rokok suami (merokok jika sangat ingin saja), mengurangi sumbangan jika ada saudara/ tetangga yang hajatan dan menambah sedikit penghasilan dari beternak ayam. Jika sesekali mendapat bantuan sembako dari masjid atau tetangga kanan- kiri, ternyata sangat membantu.
Baca Juga:Vaksinasi: Mencegah Lebih Baik daripada MengobatiKesenjangan Ekonomi, si Miskin Makin Miskin, si Kaya Makin Tertawa
Kasus 5 : Ibu Desy, seorang ibu rumah tangga dengan 4 anak. Anak 1 sudah nikah, tinggal bersama mertuanya, anak ke 2 dititipkan eyangnya, dan yang tinggal sama beliau 2 anaknya, SMA klas X dan SD. Suaminya bekerja buruh sebagai tukang las buat rak- rak tanaman hias. Beberapa waktu lalu saat penggemar tanaman hias lagi booming, penghasilan suaminya lumayan karena sering lembur. Pada saat ini penggemar tanaman hias sudah menurun, praktis penghasilan suaminya biasa lagi. Sebetulnya bu Desy memiliki sebuah rumah kontrakan, yang selama ini disewa mahasiswa. Namun akibat pandemi, sebagian besar mahasiswa pulang kampung, sehingga kontrakannya jadi gak ada yang sewa. Beliau juga sering curhat dengan saya perihal kesulitan ekonominya di masa pandemi ini. Jika kesulitan uang, semakin sulit cari pinjaman kesana- sini karena kondisi masyarakat memang lagi pada sulit. Saya wanti- wanti jangan sekali- kali mencari pinjaman ke rentenir karena bunganya sangat tinggi, nanti akan terjerat sendiri. Beberapa waktu yang lalu, karena sangat butuh uang, menjual tabung gas, menggadaikan cincin yang dimiliki, dan lain- lain ihtiar agar bisa bertahan hidup. Tahun ini anaknya yang ke 3 masuk SMA, Alhamdulillah diterima di SMA negeri, melalui jalur afirmasi. Sedikit lega, karena siswa dari keluarga tidak mampu biasanya ada banyak dispensasi beaya sekolahnya. Untuk masalah seragam, saya sarankan untuk cari lungsuran punya saudaranya agar bebannya terkurangi. Untuk menghemat beaya hidup, cara yang ditempuh bu Desy hampir mirip dengan ibu lainnya, antara lain penghematan beaya makan sehari- hari dengan menu seadanya, mengurangi beaya rokok suami dengan membeli rokok yang harganya murah. Anaknya Bu Desy juga sesekali menawarkan beberapa jenis tanaman hias via online. Karena tergolong keluarga kurang mampu, sesekali mendapat bantuan sembako dari desa, juga dari masjid dan masyarakat sekitar.