Proyek hijau ini bisa menjadi peluang bagi para korporasi. Bukan semata muncul dari kepedulian akan lingkungan. Jadi, jika dunia tiba-tiba berbicara akan pentingnya kesehatan lingkungan, itu hanyalah pemanis yang dijadikan sebagai dalil untuk membuka lahan baru investasi para korporasi.
Lantas, apakah proyek hijau ini akan mampu merealisasikan lingkungan yang sehat bagi masyarakat? Jawabannya tentu tidak. Selama negara masih memberikan peluang individu untuk menguasai aset-aset umum yang seharusnya dikelola negara, selama itu juga problem lingkungan akan selalu ada.
Karena realitas yang terjadi hari ini, sejumlah pengusaha besar baik nasional maupun internasional mendapatkan lisensi dari negara untuk mengelola Sumber Daya Alam.Hasilnya, karhutla tak pernah padam, pencemaran lingkungan terus terjadi, aktivitas penambangan menyisakan limbah perusak lingkungan, sementara masyarakat kecil harus menanggung akibat dari kerusakan lingkungan ini.
Baca Juga:Laptop Merah Putih, Wacana di Atas Penderitaan Rakyat“Dark joke” Candaan Kontroversial yang Tidak Lucu
Seharusnya pemerintah belajar dari logika negara kapitalis saat merumuskan protokol Kyoto. Protokol yang digagas negara-negara maju ini justru menjadi tameng korporasi global untuk menyudutkan negara-negara berkembang dengan menempatkan mereka pada posisi terdakwa sebagai negara yang gagal melestarikan lingkungan.
Padahal faktanya, perusahaan-perusahaan internasional milik negara-negara majulah yang mengeksploitasi lingkungan negara-negara berkembang, dan menyisakan limbah dan emisi karbon yang dijadikan dalih untuk mendakwa negara-negara berkembang.
Masalah lingkungan bukanlah masalah yang berdiri sendiri. Olehnya itu, perlu kebijakan holistik yang mampu menuntaskan masalah lingkungan hingga ke akar-akarnya. Dari tataran individu, masyarakat, hingga negara.
Kerusakan lingkungan yang terjadi hari ini tak lepas dari kurangnya kesadaran individu untuk menjaga lingkungan. Perilaku buang sampah di sembarang tempat misalnya, Indonesia masih sangat bermasalah.
Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), volume sampah 67,8 juta ton per tahun 2020, dengan produksi sampah per tahun rata-rata 64 juta ton setiap tahun. Angka yang sangat fantastis.
Belum lagi banyaknya alih fungsi lahan akibat pembangunan yang kapitalistis pada akhirnya menambah runyam masalah lingkungan. Membenahi lingkungan, tentu tak hanya dilakukan dengan membenahi aspek perilaku masyarakat.Hal terpenting dalam hal ini adalah bagaimana komitmen pemerintah dalam merumuskan regulasi yang ramah lingkungan, tidak semata-mata berhitung untung rugi dari aspek bisnis dan pembangunan.