Bagi seorang murid, guru adalah role model atau teladan yang perkataan dan perbuatannya akan selalu ditiru. Tanpa kehadiran seorang guru, proses pendidikan tidak akan berlangsung dengan baik karena guru adalah salah satu komponen penting dalam pendidikan. Perkataan dan perintah guru akan selalu diingat oleh muridnya. Tak jarang kita temui anak – anak lebih mendengarkan perkataan gurunya daripada perkataan ibu atau ayahnya. Misalnya dalam mengerjakan pekerjaan rumah (PR), anak akan mengerjakan perintah dan petunjuk yang diajarkan oleh gurunya.
Melihat fenomena tersebut, guru sebaiknya mengajar dari hati yang tulus, bukan sekedar menjalankan tugas semata. Perkataan maupun perbuatan seorang guru akan selalu ditiru oleh murid – muridnya. Ingatlah, jika kita berkata keras dan kasar, murid pun enggan mengikuti pembelajaran. Sebaliknya, jika kita mengajar dengan hati yang bersih dan perkataan yang lembut, hati murid pun akan tersentuh dan mereka akan mau mengikuti proses pembelajaran. Peribahasa yang berbunyi “Guru kencing berdiri anak murid kencing berlari” tidak semestinya terjadi di zaman sekarang ini.
Pengalaman menunjukkan, ketika kita mengajarkan kedisiplinan dengan cara – cara yang keras, murid pun akan mengerjakannya dengan penuh keterpaksaan. Hal itu tentunya tidak baik bagi psikologis anak. Tugas – tugas yang diberikan oleh guru akan dikerjakan oleh anak hanya agar tidak dihukum oleh gurunya. Anak akan mengerjakan tugas tersebut alakadarnya dan tidak didasari dengan niat yang ikhlas.
Baca Juga:Makna 17-anRindu Suasana Gemuruh Stadion, Viking Karawang Dukung Vaksinasi
Sebaliknya, ketika kita mengajar dengan kelembutan dan hati yang tulus, akan membekas di hati anak didik kita. Mereka akan selalu mengenang kita dan mengingat nasehat – nasehat yang kita berikan. Kalaupun mereka sudah lulus sekolah, tak jarang murid – murid kita masih mau menyempatkan diri untuk bersilaturrahmi ke rumah gurunya. Mereka menganggap guru sebagai orangtua dan sahabatnya.
Guru Mengajar di Masa Pandemi
Pembelajaran di masa pandemi ini memang terasa sulit. Tak pernah ada yang membayangkan bahwa kita akan mengalami hal ini. Guru berada pada suatau masa dimana mereka tidak bisa memberikan pembelajaran secara langsung pada anak. Kebanyakan tugas-tugas yang diberikan tidak maksimal serta jauh dari nilai – nilai objektivitas. Kenyataan di lapangan menunjukkan, justru orangtua merekalah yang mengerjakan tugas itu. Banyak anak mulai malas membuka dan membaca buku. Mereka cenderung mengambil jalan pintas atau instan dalam belajar dengan bantuan Google. ini yang membuat pembelajaran tidak bisa diukur dengan nilai yang diperoleh berdasarkan latihan – latihan yang diberikan guru. Belum lagi psikis anak dan orang tua yang kadang terganggu karena merasa terbebani dengan pembelajaran online atau daring. Masalah kuota dan kendala gawai juga menjadi tantangan tersendiri bagi anak – anak yang berlatarbelakang ekonomi menengah ke bawah.