Negara hanya menyediakan regulasi dan membiarkan rakyat berjuang sendiri demi mengakses pendidikan. Jika pun ada subsidi, jumlahnya tidak signifikan jika dibandingkan besarnya jumlah pelajar dan mahasiswa. Pun, kemurahan penguasa tersebut selalu harus disertai syarat dan ketentuan.
Di bawah sistem kapitalisme yang mata duitan, pendidikan menjadi privilege individu berduit. Bukan lagi hak dasar yang dipenuhi secara massal. Sistem kapitalisme membuat pendidikan menjadi mahal dan makin mahal. Sehingga ancaman kehilangan potensi intelektual generasi tepat di depan mata.
Hal ini berbeda dengan Islam. Islam adalah agama yang paripurna. Mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk di dalamnya aspek pendidikan. Dalam Islam, pendidikan adalah tanggung jawab negara, karena merupakan kebutuhan dasar yang tidak mungkin dipenuhi sendiri oleh rakyat. Sistem paripurna ini bernama Khilafah.
Baca Juga:Manut Pusat, Pemda Purwakarta Perpanjang PPKM Level 3Harga Kebutuhan Pokok Stabil Tapi Penjualan Menurun karena Dampak PPKM
Peradaban Islam menempatkan pendidikan sebagai suatu prioritas. Khilafah menyelenggarakan pendidikan secara gratis sejak jenjang dasar (ibtidaiyah) hingga tinggi (universitas). Dalam kehidupan normal (bukan pandemi) negara menyediakan sekolah/kampus, asrama, buku, alat tulis, perpustakaan, laboratorium, fasilitas kesehatan, bahkan baju ganti untuk para pelajar dan mahasiswa.
Dalam kondisi wabah, pendidikan diatur agar mendukung penyelesaian wabah. Sekolah berasrama menjadi tempat karantina bagi para pelajar. Kampus juga diarahkan untuk meneliti obat dan vaksin untuk penyakit yang mewabah. Ayat, hadis, dan fikih terkait wabah juga dikaji di sekolah dan kampus, sehingga ilmu menjadi hidup dan bisa memunculkan penemuan baru. Pendidikan dalam khilafah tak hanya beres dalam urusan biaya pendidikan (UKT dan lain-lain), tapi juga menghasilkan solusi untuk wabah.
Wallahu’alam.