Bagian ke 1
Kang Marbawi
“Keadilan sosial ialah suatu masyarakat atau sifat suatu masyarakat adil dan makmur, berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan” Seokarno.
“Buku Panduan Menanggulangi Kemiskinan, begitu bunyi judul buku yang ditemukannya. Judul buku itu dicetak tebal. Di bawah terik matahari pukul 2 siang, dia masih berdiri di samping bak sampah tepat di depan sebuah rumah besar. Di dalam bak sampah itu dia menemukan buku bersampul hijau lumut itu. Dia mencoba mengeja judul kecil yang terulis di bawah judul utama. Meski tak benar-benar pintar membaca, setidaknya dia bisa mengeja secara perlahan-lahan. Kiat-kiat Mengeluarkan Diri dari Jerat Kemiskinan. Matanya membulat, bibirnya tersenyum sumringah. Dimasukannya buku itu ke dalam kantong plastik di tangan kirinya. Sedang di bahu kanannya tergantung karung besar berisi botol-botol plastik hasil memulung hari ini”.
Di atas adalah kutipan pembuka cerita pendek (cerpen) Artie Ahmad yang terbit di Koran Tempo 28-29 November 2020 lalu. Cerpen yang menceritakan seorang pemulung bernama Sukandar yang menemukan buku “Panduan Menanggulangi Kemiskinan”. Diceritakan, sepulang ke bedengnya, Sukandar meminta anak perempuan semata wayangnya, Noor Laela, siswi kelas dua SMP, yang bercita-cita ingin menjadi dokter, membacakan dengan keras-keras buku yang dia temukan. Dia berpikir jika dia menerapkan “resep-resep” jitu dari buku yang dia temukan tersebut, mungkin dia bisa merubah nasib dan menyekolahkan anaknya hingga menjadi dokter. Sukandar mendengarkan buku yang dibaca anaknya: salah satu kiat keluar dari kemiskinan dari buku itu adalah dengan menabung. Dan setelah tabungan banyak maka tabungan itu diinvestasikan.
Baca Juga:Direktur Gardiklat BPIP Ajak Kepala Sekolah Menguatkan Ideologi Pancasila di SekolahKandahar Taliban
Soalnya nabungnya, dalam cerpen itu, diikuti Sukandar. Noor Laela menunjukkan celengan dari tanah berbentuk Babi yang diberikan tetangganya Mak Ipah. Walau Sukandar agak menolak nabung di celengan itu, karena menganggap Babi itu haram. Penolakan yang sering kali terjadi dalam realitas masyarakat yang didasarkan atas pemahaman agama yang tekstual.
Cerpen itu juga menunjukkan ketakmungkinan golongan seperti Sukandar mampu merubah hidupnya dengan cara berinvestasi. Dan bisa jadi Artie ingin mengkritik bahwa buku sebagai simbol atau wujud dari kebijakan yang hanya menguntungkan sekelompok yang mampu mengakses dunia perbankan. Juga paradoks mimpi menjadi dokter bagi Noor Laela, anak pemulung, yang tak mungkin mendapat akses bea siswa.