Memaknai sila kelima “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”
Bagian ke 4
Kang Marbawi
(Not) For Sale
“Sebagai warisan dan etika Bangsa Indonesia, Keadilan Sosial seharusnya diraih dan diwujudkan,” Soekarno.
***
Yang bersifat suci itu ternyata tidak hanya kitab suci-nya umat beragama. Disebut suci, karena isinya berisi ajaran moral dan tuntunan hidup yang harus dipedomani. Bukan dikangkangi. Nah, ternyata, diksi “suci” sebagai perwujudan kesakralan dan keluhuran nilai-nilai yang harus dipedomani itu, juga ada pada kontrak bisnis.
Bedanya, jika kitab suci betul-betul “suci” sebagai wahyu yang datang dari Yang Ilahi -transenden. Tak boleh seorang pun untuk mengutak-ngatik isi dan teksnya. Walau boleh beda tafsir, asal telah hatam ilmu memahami teks kitab suci. Sementara kontrak bisnis, wajib direvisi bahkan dibatalkan bila menabrak konstitusi dan kepentingan hajat hidup orang banyak. Kontrak bisnis yang mengangkangi kepentingan hajat hidup orang banyak.
Sampai-sampai Rizal Ramli, seorang ekonom berseru! “Kontrak bisnis itu suci dan harus dihormati, tapi bila menabrak konstitusi kita atau sarat kepentingan sepihak, maka kita harus berani merevisi,”
Seruannya Rizal Ramli tersebut seolah menunjukkan ketakberdaulatan Undang-Undang No 25 Tahun 2007. Dalam Undang-Undang No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, pemerintah seolah harus tunduk pada kontrak bisnis dengan swasta asing yang dianggap “suci” tersebut.
Undang-undang itu, seolah menyerahkan kedaulatan kepada swasta. Coba saja kita lihat di pasal 7 (ayat 1 sampai 3), misalnya, pemerintah tak boleh melakukan nasionalisasi atau pengambilalihan. Nasionalisasi artinya pemerintah harus membeli saham penanam modal asing tersebut dengan harga pasar. Contohnya, akuisisi saham Freeport Indonesia oleh pemerintah sebesar 51 persen, senilai US 3,85 miliar atau Rp 53,9 triliun (kurs Rp 14.000). Pemerintah membeli saham Freeport Indonesia sesuai harga saham pasar. Dan bila ada sengketa, maka penyelesaiannya harus melalui lembaga arbitrase internasional yang ada di London atau New York (ayat 3). Ini artinya, kedaulatan atas kekayaan sumber daya alam (SDA) kita, terpenjara dan dihadapkan pada kepentingan bisnis global-pasar liberal.
Soal pengadilan arbitrase ini, Joseph Eugene Stiglitz-yang pernah ke Indonesia, mendadarkan bahwa 90 persen lembaga arbitrase selalu memenangkan kepentingan negara maju. Peraih nobel ekonomi tahun 2001 ini menceritakan, dalam sengketa bisnis antara Multi National Corporate (MNC) khususnya dalam pengelolaan sumber daya alam negara berkembang, MNC selalu menang telak.