Memaknai sila kelima “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”
Bagian ke 5
Kang Marbawi
Mama Hasria
“Negara yang menganut prinsip kesejahteraan (walfare state), memastikan setiap warga negaranya terjamin standar kesejahteraan hidup minimumnya”
***
40 jeriken kosong -ukuran lima liter, yang tersambung seutas tali disangkutkan di pundak Mama Hasria (46). Mama Hasria dan beberapa wanita lain di Desa Tinambung, Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat, biasa berjalan bersama sejauh empat kilometer menuju Sungai Mandar. Untuk menuju ke sumber air bersih, Mama Hasria harus berenang menyeberangi Sungai Mandar.
Baca Juga:Ada Dugaan KKN dalam Program Beasiswa Karawang Cerdas, Mahasiswa Kepung Gedung PemdaAkibat Angin Kencang, Rumah di Cimerta Rubuh
Sedikitnya selama 1 jam Mama Hasria berenang mengarungi Sungai Mandar sambil membawa air bersih di dalam jeriken. Puluhan jeriken ini dijadikan sebagai tempat air bersih demi mencukupi kebutuhan air keluarga dan masyarakat Tinambung. Wanita-wanita hebat ini berjuang untuk mencari air bersih. Masyarakat hanya cukup menggantinya Rp.500 perak.
Jumlah rupiah yang pasti tak ada dalam katalog keuangan para konglomerat. Apalagi dalam saku celananya, tak ada debu dari uang recehan. Jumlah rupiah yang biasa Kita berikan kepada “Pak Gope” di tingkungan jalan atau pengamen. Dan akumulasi Rp.500 bagi “Pak Gope” bisa menghidupi keluarganya. Hanya orang kecil yang masih mengantongi uang cash dan mengumpulkan uang cash. Recehan pula!
Tak ada kaitannya antara Mama Hasria dan wanita-wanita di Desa Tinambung Polman dengan perusahaan global air kemasan atau cerita air pam yang kadang tak bisa dipakai karena keruh. Mereka tak pernah tahu, bahwa sudah ada kesepakatan global untuk privatisasi – swastanisasi pengelolaan air, oleh perusahaan besar dunia. Bahkan tak hanya air, semua isi perut bumi Indonesia sudah dikapling-kapling.
Baca saja bukunya Bradley Simpson, Economists With Guns, Authoritarian Developmnet and US-Indonesia Relations 1960-1968. Buku yang diterbitkan Stanford University Press tahun 2008 dan Gramedia tahun 2010. Buku ini, blak-blakan menelanjangi bagaimana sumber daya mineral Indonesia sudah “dikeruk” multinational corporation (MNC) raksasa dan perorangan swasta, sejak tahun 1967. Kita hanya dapat “tailingnya” saja. Sampah dan kerusakannya saja.
Tentu Mama Hasria tak pernah tahu soal buku Bradley Simpson ini. Mama Hasria juga tak tahu bahwa di tahun 2003 di Kyoto-Jepang, para pengusaha global dan menteri dari berbagai negara maju dan berkembang berkumpul. Mereka mendiskusikan pengelolaan krisis global sumber daya air. Pertemuan yang kemudian dikenal dengan Deklarasi Kyoto tersebut mendorong peran perusahaan global untuk melakukan “komersialisasi” sumber daya air. Bahkan Michel Camdessus -kepala IMF -International Moneter Fund, mendorong pemerintah mendukung peningkatan privatisasi pada sektor pengelolaan air oleh MNC. Dengan bungkus keterlibatan dan pengelolaan pasokan air sebagai hak asasi manusia.