Sebelum peristiwa 1965 pecah, memang sudah terjadi ketegangan-ketegangan politik antara kelompok kiri yakni PKI dengan Angkatan Darat dan kelompok Islam, menjelang 1965 TNI AD dan PKI bersaing yang ditengahi oleh Soekarno. Angkatan Darat menolak mentah-mentah adanya komisariat politik dalam tubuh tentara karena hal ini menurut TNI AD biasa diterapkan dalam negara komunis, selain pimpinan militer ada wakil partai politik dalam organisasi tentara. Angkatan darat menolak juga rencana PKI yang ingin membentuk angkatan kelima yang meminta buruh dan tani di persenjatai untuk kepentingan bela negara mengingat TNI punya pengalaman sulit mengatur laskar-laskar bersenjata pada tahun 1945.
Sejak demokrasi terpimpin dan nasakom diberlakukan sebagai ideologi negara 1959-1965 yang menjadi usaha Soekarno untuk menyatukan tiga kekuatan politik besar saat itu, ketegangan-ketegangan diantara politisi tidak bisa dihindarkan terutama kalangan Islam Masyumi dan sebagian nasionalis, Masyumi saat itu sangat vokal mengkritik kebijakan demokrasi terpimpin Soekarno yang kemudian menyebabkan partai Islam ini dibubarkan. Muhammad Hatta sebagai wakil presiden pun mengundurkan diri karena sudah tidak sejalan dengan Soekarno. disaat ketidakharmonisan Soekarno dengan kalangan Islam dan sebagian nasionalis, PKI sebagai partai politik pemenang pemilu tahun 1955 dan kekuatan politik besar keempat saat itu mampu memainkan peranya untuk lebih merapat dan dekat kepada presiden Soekarno.
Begitupun sejak Presiden Soekarno melakukan konfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1963 beredar kabar bahwa angkatan darat tidak sungguh-sungguh mendukung kebijakan Soekarno, mereka lebih suka berdamai dengan Malaysia. Pada saat itu angkatan darat di pimpin oleh Letnan Jendral Ahmad Yani, sikap Ahmad Yani ini didukung juga oleh Menteri Pertahanan Abdul Haris Nasution. Isu itu kemudian terdengar kabar kelingkaran orang-orang keamanan sekitaran Presiden Soekarno yakni Letkol Untung selaku Komandan Cakrabirawa dan kepada tokoh-tokoh elit PKI tentang sikap angkatan darat yang tidak sungguh-sungguh mendukung kebijakan Soekarno dalam melakukan konfrontasi dengan Malaysia. Disamping saat itu kondisi kesehatan Soekarno yang mengkhawatirkan para petinggi PKI dengan asumsi kalau Soekarno meninggal TNI AD akan mengambil alih kekuasaan, kemudian ditambah isu kemunculan dewan jenderal dan susunan kabinetnya yang akan mengarah kepada kudeta Presiden Soekarno pada hari ABRI tanggal 5 Oktober 1965.