Oleh: Nita Nur Elipah
Ibu Rumah Tangga
Bulan ini adalah realisasi keputusan pemerintah di bulan Maret 2021 terkait impor 3 juta ton garam. Selain kuantitas impor yang melebihi kebutuhan, alasan kualitas dan peruntukan garam impor juga mengemuka. Seperti dikutip dari merdeka.com Minggu, 21 Maret 2021, pada Oktober tahun lalu, Presiden sempat marah dan menyebut bahwa masalah garam rakyat belum terselesaikan hingga saat ini. Bahkan, tidak ada pihak yang ingin mencari jalan keluarnya.
“Masih rendahnya kualitas garam rakyat sehingga tidak memenuhi standar untuk kebutuhan industri. ini harus dicarikan jalan keluarnya. Kita tahu masalahnya tapi nggak pernah dicarikan jalan keluarnya, sehingga kemudian cari yang paling gampang yaitu impor garam. Dari dulu gitu terus dan enggak pernah ada penyelesaian,” kata Presiden di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin (5/10).
Jika benar-benar terealisasi di bulan ini, maka kebijakan pemerintah untuk membuka kran impor garam dalam jumlah yang sangat besar ini tentu sangatlah disayangkan. Tentu hal ini merupakan bukti kegagalan pemerintah dalam mewujudkan swasembada yang terjadi terus menerus), dan mengabaikan jeritan para petambak garam. Walaupun panen garam melimpah namun garam lokal tidak akan laku.
Baca Juga:Puluhan Ribu KPM Belum Transaksi di Bali, Mensos Ingatkan Kepala Daerah, Peran Penting Bansos Putar Roda PerekonomianAnne : Kades Terpilih Seperti Udara Tanpa Membedakan Derajat dan Martabat Masyarakat
Padahal, Indonesia memiliki potensi luas lahan garam nasional sebesar 27.047,65 ha, jumlah petambak garam sebanyak 19.503 orang, Indonesia pun memiliki potensi gunung garam seperti di Kalimantan Timur dan tentu masih bisa melakukan perluasan lahan tambak baru.
Akan tetapi dengan potensi yang besar ini masih minim dari segi pengelolaan diantaranya, tidak optimalnya kelola lahan, teknologinya masih tradisonal, dan prosesnya masih bergantung pada cuaca. Terlebih lagi adanya kisruh di sektor distribusi, yakni biaya transportasi yang mahal, rantai tata niaga yang terlalu panjang, banyak distorsi pasar, adaya kartel, dan penyerapan yang rendah.
Tidak terkelolanya potensi serta buruknya produksi dan distribusi sejatinya terjadi bukan hanya karena masalah teknis saja, tapi akibat adanya logika neoliberalisme. Dimana pemerintah hanya hadir sebagai regulator, operator, dan pelaksana teknis semata.
Semestinya ada kesungguhan kebijakan dari pemerintah untuk mengatasi masalah berulang ini. Persoalan kuantitas dan kualitas sebenarnya bisa diatasi dengan kemauan politik untuk swasembada. Rakyat tidak butuh retorika pemerintah yang marah soal impor garam, tapi berikan aksi nyata untuk mengatasinya.