KRL Pra 2010
Hampir 17 tahun -hingga sekarang tahun 2021, saya menjadi pengguna setia kereta listrik (KRL) sebagai moda transportasi untuk berangkat dan pulang kerja. Setidaknya saya mengikuti denyut warna-warni kehidupan di KRL. Sebelum tahun 2010, kehidupan di KRL adalah sub komunitas sosial tersendiri.
Era sebelum tahun 2010, ada dua jenis moda transportasi perkotaan berbasis rel, di Jabodetabek (Jakarta Bogor Depok dan Tangerang), kereta listrik (KRL) dan kereta disel (KRD). KRD biasanya dari Statsiun Jakarta mengantara penumpang sampai ke Statsiun Cikarang. Pulang-Pergi (PP). Komunitas pengguna moda kereta Jabodetabek menyebut KRD dan kereta lokal jurusan Jakarta Kota-Purwakarta adalah kereta “odong-odong”. Entah kenapa disebut demikian.
Saya adalah pengguna setia KRL/KRD dari Statsiun Bekasi ke Statsiun Gang Sentiong atau di Statsiun Pasar Senen. Lalu nyambung menggunakan metromini ke Cikini. Pulangnya pun demikian. Rute itu kemudian berubah menjadi melewati Statsiun Cikini. Entah tahun berapa perubahan rute tersebut, mungkin antara tahun 2016-2017. Tentu ini membuat saya senang karena dekat dengan sekolah. Kebetulan sekolah dimana saya mengabdi dekat Statsiun Cikini.
Baca Juga:Pakar Komunikasi Dr Aqua Dwipayana Apresiasi Kinerja Media Centre PON XX PapuaDinilai sebagai Tokoh Pengayom dan Pelindung, Kesultanan Bulungan Anugerahi Mensos Risma Gelar Adat “Adji Nasyrah Maliha”
Hampir di setiap statsiun, pemandangan berdesakan para penumpang menunggu KRL datang, menjadi hal biasa. Jejalan penumpang di setiap statsiun yang dilewati KRL atau KRD, seolah beban yang didesakkan ke lambung gerbong KRL atau KRD.
Bak air bah yang tak tertahan oleh perut gerbong KRL, penumpang meluber hingga ke atap gerbong, pintu-pintu dan sambungan gerbong.Yang tak kebagian masuk ke lambung gerbong dan punya nyali, memilih nangkring di atap gerbong atau bergelantungan di pintu dan di sambungan gerbong. Pokoknya yang penting kebawa. Tak masalah, posisi terjepit badan orang atau dagangan tukang asongan, tukang ngamen baik pengamen solo maupun group seperti paduan suara lengkap dengan perangkat musiknya. Juga rela berbagi bau keringat dan panas. Tak ada protokol kesehatan -Covid 19, karena waktu itu memang belum “ramai” Covid-19. Juga tak ada protokol keselamatan.
Jangan membayangkan pintu gerbong KRL atau KRD berfungsi dengan baik. Atau sejuknya Air Conditioner (AC). Pintu Gerbong KRL/KRD sudah tak sudi menutup atau membuka daun pintunya dengan setia disetiap statsiun. Karena daun pintu gerbong dan AC itu sudah sejak mula “almarhum” tak berfungsi. Entah kenapa? Juga tak diperbaiki. Dan ini menjadi berkah bagi “bonek” penumpang KRL yang berani bergelantungan di pintu-pintu gerbong. Juga pedagang kipas tangan.