Seolah masing-masing sudah saling mengerti dan toleran. Saling memberi ruang sedikit ketika mau lewat. Dan tak masalah jika didesak-desak karena memang, jumlah penumpang yang melimpah ruah.
Ada kehidupan sosial tersendiri, jika memperhatikan perilaku penumpang KRL waktu itu. Setiap penumpang biasanya memiliki komunitas sendiri-sendiri. Komunitas penumpang tersebut terjadi karena kesamaan tujuan, pekerjaan, atau kesamaan istiqomah di gerbong tertentu atau juga komunitas atap gerbong. Agar bisa saling melindungi dari desakan penumpang yang naik di setiap statsiun. Atau alasan lainnya, seperti teman main “gaple”. Ini biasanya bagi penumpang kereta lokal Jakarta Kota-Purwakarta. Atau “fair” kecil-kecilan.
Kehidupan penumpang KRL atau KRD atau kereta lokal menjadi sebuah sub komunitas tersendiri. Komunitas yang terbentuk hanya ketika di KRL/KRD. Terutama pada saat berangkat atau pulang kerja. Tak jarang mereka juga melakukan pertemuan di luar jam kantor atau disaat libur kerja.
Baca Juga:Pakar Komunikasi Dr Aqua Dwipayana Apresiasi Kinerja Media Centre PON XX PapuaDinilai sebagai Tokoh Pengayom dan Pelindung, Kesultanan Bulungan Anugerahi Mensos Risma Gelar Adat “Adji Nasyrah Maliha”
Riuhnya puluhan tukang asongan yang lalu-lalang menjajakan dagangannya, nyanyian tukang ngamen dengan segala alat musik, pengemis, ditengah jejalan penumpang adalah sub sosial penumpang KRL/KRD. Semua saling mengerti dan memberi ruang barang sedikit. Walau kadang terselip juga orang-orang yang tak punya hati, mencari nafkah dengan merugikan orang. Gerbong KRL/KRD adalah lahan kerja dan lahan nafkah bagi beberapa komunitas.
Sub komunitas penduduk gergong KRL/KRD yang saling berbagi, menyapa dan peduli. Memberi tempat duduk bagi orang-orang tertentu yang memang lebih memerlukan. Toh, masih ada juga yang cuek! Toleran dengan sedikit ruang sempit untuk penumpang lewat dan berbagi tempat berpijak.
Ada aktualisasi nilai Pancasila di gerbong KRL/KRD ketika mereka bersama sebagai sub komunitas sosial warga gerbong KRL/KRD. Budaya memberi tempat duduk bagi yang lebih membutuhkan ini, kemudian diinstitusionalisasi oleh manajemen KRL dengan himbauan flayer yang lebih tegas dan ditempel di kaca-kaca jendela gerbong.
Namun sub komunitas ala penumpang KRL/KRD era sebelum tahun 2010 mulai hilang. Sub komunitas yang penuh kehangatan saling menyapa, dan peduli mulai tergerus. Saat ini, seolah penumpang KRL -KRD telah lama digusur untuk efisiensi, adalah individu-individu dengan dunia masing-masing. Dunia yang tak terkoneksi satu sama lain sesama penumpang KRL.Individu yang sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Atau karena memang dilarang bicara karena protokol Covid-19? Entahlah.