Selain itu ada juga Raperda pesantren yang harus diwaspadai akan mengadu domba, serta menjadikan politik belah bambu. Setidaknya ada tiga problem pada Raperda ini yang menyangkut hal filosofis, teknis administratif, dan pendanaan.
Terkait problem filosofis Raperda ini hendak mem-framing pesantren dalam kerangka filosofis tertentu. Inilah yang mesti dicermati karena di situ diletakkan kata moderat. Jika dibiarkan, maka Raperda pesantren akan membelah pesantren. Bagi yang mengikuti Raperda akan menjadi pesantren moderat dan yang tidak mengikuti menjadi pesantren tidak moderat atau pesantren radikal. Akibatnya akan ada pesantren “anak emas” yang menjadi bagian politik rezim atau politik penguasa dan ada pesantren “anak tiri” karena bertentangan dengan kepentingan rezim. Maka bukannya menciptakan persatuan serta kerja sama di antara pesantren, sebaliknya justru terjadi pertentangan di antara pesantren.
Kedua, teknis administratif yang secara kasat mata terkesan baik. Adanya sistem informasi pesantren yang terpadu dengan pengelolaan dan informasi data oleh menteri. Akan ada data terbuka dan ini tidak selamanya buruk, tergantung untuk apa informasi tersebut digunakan, serta untuk kepentingan apa.
Baca Juga:Tanamkan Semangat Juang, Kemensos Akan Libatkan Anak-anak di Rangkaian Kegiatan Hari Pahlawan 2021Antisipasi Jalur Transportasi Terputus, Mensos Instruksikan Pendirian Lumbung Sosial di Lokasi Banjir Kalbar
Ketiga, persoalan pendanaan. Mendanai pesantren seharusnya sudah menjadi kewajiban negara. Namun, ketika pendanaan tersebut disalahgunakan untuk mengintervensi, semisal merubah kurikulum pesantren sesuai kehendak rezim inilah yang menjadi persoalan. Mengingat moderasi beragama sebagai proyek Barat, gencar disosialisasikan termasuk ke pesantren.
Seperti inilah Raperda di sistem kapitalisme demokrasi. Kapitalisme yang menitikberatkan kepada keuntungan tidak memungkinkan menghapus bisnis haram. Disempurnakan oleh demokrasi yang mengagung-agungkan kebebasan. Kebebasan beragama, bertingkahlaku, berpendapat dan kepemilikan. Demokrasi memberi kewenangan penuh bagi manusia untuk mengatur kehidupan sesuai kehendak hawa nafsunya. Disepakatilah yang namanya Raperda hasil pikiran manusia lalu dilegalisasi. Betapa rumitnya penyusunan Raperda yang didasari hasil pemikiran manusia. Sudahlah memakan waktu lama, membingungkan, menghabiskan banyak dana, ketika disahkan, sama sekali tidak menjadi solusi.
Akan jauh berbeda dengan Raperda di bawah sistem Islam. Legalisasi Raperda bersumber dari Al-Qur’an dan as-Sunnah. Nihil dari tarik menarik kepentingan. Manusia tidak diberi wewenang membuat dan meyusun aturan berdasarkan hasil pemikirannya sendiri. Akal manusia sifatnya terbatas, sedangkan Allah Swt. adalah Zat yang Maha Mengetahui segala sesuatu, termasuk kebutuhan manusia karena yang menciptakannya.