Jadi jika memilih pemimpin misalnya berdasarkan pemberian suap yang besar ataupun jabatan, fasilitas dll, pada prinsipnya mereka telah mengingkari nikmat Allah karena menggunakan nikmat Allah dengan cara yang salah. Padahal islam adalah agama yang sempurna. Syariatnya mencakup segala aspek dalam kehidupan mulai dari akidah, ibadah sampai muamalah, dari urusan sholat sampai memilih pemimpin. Betapa urgennya memlih pemimpin , sampai Nabi saw memerintahkan, ketika kita mengadakan perjalanan jauh yang diikuti oleh tiga orang, kita diperintahkan memilih pemimpin.
Negara Indonesia merupakan negara yang menganut demokrasi dalam tatanan kenegaraan sehingga rakyatnya diberi hak yang sama untuk memilih pemimpin melalui skema pemilihan umum (pemilu). Jika mengacu pada data dari Worldometer.info, populasi Indonesia yaitu 277.393.947 jiwa. Bagi sebagian orang, mereka menganggap bahwa hak suara yang ia miliki tidak akan signifikan dalam menentukan pemimpin yang terpilih. Perilaku pesimis dalam berbuat kebaikan seperti ini sebaiknya dihindari, karena Allah akan tetap menilai ikhtiar yang kita lakukan dan berpihak kepada siapa kita.
Ada kisah menarik yang dapat kita ambil hikmahnya dari sejarah Nabi Ibrahim AS ketika dibakar hidup-hidup oleh Raja Namrudz. Ketika Nabi Ibrahim dibakar oleh Raja Namrudz, ketika itu terdapat beberapa hewan yang menyaksikan, diantaranya cicak dan burung pipit. Tindakan yang dilakukan oleh burung pipit adalah mencoba membawa air sebagai ikhtiar memadamkan api. Burung-burung lain bertanya mengapa burung pipit melakukan hal itu. Burung pipit menjawab “Mungkin air yang kubawa tidak akan memadamkan api di bawah sana. Tapi jika nanti Allah bertanya, maka aku bisa memberikan jawaban. Bahwa aku tidak tinggal diam. Aku telah melakukan sesuatu!”. Adapun usaha yang dilakukan cicak yang mana berkebalikan 180 derajat. Dari Ummu Syarik radhiallahu ‘anha; Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh cicak. Beliau menyatakan, “Dahulu, cicak yang meniup dan memperbesar api yang membakar Ibrahim.” (HR. Muttafaq ‘alaih). Sekarang kita bisa refleksikan pada diri kita bahwa pilihan kita akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hadapan Allah, terlepas dari besar kecilnya dampak dari pilihan kita tersebut dalam menentukan pemimping yang terpilih.