Oleh Ummu Raisya
Ibu Rumah Tangga dan Pegiat Dakwah
Tingginya angka pernikahan dini di wilayah Kabupaten Bandung menjadi perhatian serius bagi pemerintah Kabupaten Bandung. Karena selama pandemi Covid-19 mengalami peningkatan hingga mencapai 44,46 persen. Lonjakan ini dikhawatirkan bisa memperburuk terhadap indeks pembangunan manusia. Sementara menurut Emma Dety Dadang Supriatna, selaku Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) Kabupaten Bandung, anak merupakan potensi dari keberlangsungan suatu bangsa, jika anak berkualitas maka akan menghasilkan bangsa yang berkualitas. Karenanya dibutuhkan peran orang tua dalam pengasuhan anak di usia tumbuh kembang agar mampu mengendalikan pernikahan dini. (dialogpublik.com, 19/10/2021)
Nampaknya perkawinan anak ini menjadi persoalan yang kompleks dan sulit terurai. Angkanya bukan mengalami penurunan, malah kian meningkat. Padahal beberapa upaya telah dilakukan pemerintah seperti pendewasaan usia perkawinan bagi perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Sebagaimana perubahan peraturan tertuang dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan yang menyebutkan usia minimal untuk menikah 19 tahun bagi kedua mempelai. Sementara UU sebelumnya, UU Nomor 1 tahun 1974, yang menyebutkan usia nikah minimal 16 tahun bagi perempuan dan 18 tahun bagi laki-laki.
Jika dicermati, ada beberapa hal yang memicu perkawinan anak di usia dini, yakni ekonomi, pendidikan serta interaksi sosial. Alasan ini, banyak terungkap karena pemahaman orang tua yang kurang tepat. Mereka menganggap anak perempuan adalah beban ekonomi. Sehingga agar tidak menjadi beban keluarga, memilih menikahkan anak-anak mereka di usia belia. Artinya, pernikahan dini menjadi pilihan pragmatis di tengah himpitan ekonomi. Solusi instan seperti ini disebabkan begitu sulitnya menjalani kehidupan dalam sistem kapitalisme. Biaya sekolah anak sulit terjangkau yang berpotensi putus sekolah. Akhirnya, solusi tercepat adalah menikahkan mereka yang dipandang bisa menghilangkan beban keluarga. Fenomena seks bebas yang berujung kehamilan di luar nikah pun ikut menaikkan angka pernikahan usia dini karena dipandang sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan sosial ini.
Baca Juga:Pertanian Sumber Ketahanan Pangan Yang Tak Dapat Dukungan Islam sebagai Solusi, bukan Moderasi
Hal ini semestinya menjadi bahan evaluasi bagi semua pihak. Jangan sampai propaganda pencegahan pernikahan dini dan perkawinan anak ini tidak sejalan dengan penyikapan terhadap realitas maraknya dekadensi moral, budaya permisif, serta kemiskinan massal yang menimpa generasi.  Kenyataan ini jauh lebih penting untuk dipersoalkan dibanding dengan pernikahan dini.