Terjadinya krisis moral dan mental, serta krisis ekonomi yang menyebabkan anak tidak mendapatkan haknya secara utuh dan benar sebenarnya merupakan akibat penerapan sistem sekuler liberal. Paham kebebasan inilah yang menghantarkan generasi pada jurang kehancuran.
Kondisi seperti ini tidak akan terjadi jika Islam yang diterapkan secara paripurna. Karena Islam memiliki seperangkat aturan yang lengkap tentang kehidupan personal maupun komunal. Dan negara berperan sebagai pelaksana dan pengontrol agar hukum Islam diterapkan secara menyeluruh.
Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, maka negara akan memenuhi kebutuhan dasar setiap rakyat, baik sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan maupun keamanannya. Dengan adanya jaminan inilah, maka tidak akan ada bagi orang tua berpikir pragmatis menikahkan anak perempuannya karena alasan beban keluarga. Di saat pemberian pendidikan gratis, beban orang tua untuk menyekolahkan anak pun akan menjadi ringan. Pendidikan yang diterapkan berbasis pada akidah Islam, akan membentuk generasi yang memiliki kepribadian Islami, bukan sekuler liberal.
Baca Juga:Pertanian Sumber Ketahanan Pangan Yang Tak Dapat Dukungan Islam sebagai Solusi, bukan Moderasi
Sistem sosial dalam Islam pun akan mampu melindungi generasi dari kehancuran. Di dalamnya mengatur interaksi laki-laki dan perempuan di masyarakat berdasarkan syariat Islam, bukan berdasarkan liberalisme yang menjerumuskan manusia ke dalam kebebasan yang menghalalkan segala hal. Suasana di masyarakat senantiasa dijaga dalam keadaan bersih dari pornografi, pornoaksi dalam dunia nyata maupun dunia maya.
Syariat Islam tidak mengekang manusia untuk memenuhi kebutuhannya termasuk kebutuhan naluri seks. Tapi mengaturnya, dengan pengaturan yang sempurna, dimana hubungan seks hanyalah boleh dilakukan dalam sebuah ikatan pernikahan yang sah. Pernikahan merupakan sebuah ibadah yang ditujukan untuk menjaga keberlangsungan keturunan manusia dan mencapai ketenangan dan ketentraman dalam kehidupan. Sebagaimana disebutkan dalam Q.S Ar-Rum:21 yang artinya : “Dan di antara tanda-tanda kebesaranNya adalah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi kaum yang berfikir”.
Menikah dalam Islam memiliki dimensi ibadah, bukan semata untuk memenuhi rasa cinta dan syahwat. Bukan pula sebagai solusi untuk mengatasi kemiskinan dan pergaulan anak yang berujung pada kehamilan di luar nikah. Karena landasan seperti ini akan rapuh. Lain halnya jika dilandasi keimanan dan niat beribadah kepada Allah. Ombak sebesar apapun yang menghantam biduk rumah tangga, tidak akan menggoyahkannya. Apalagi jika pasangan di dalam rumah tangga, keduanya paham dalam menjalankan apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Kondisi rumah tangga seperti ini akan langgeng tanpa melihat usia yang menjalankannya. Seseorang yang sudah baligh tak bisa lagi disebut anak, karena sudah terkena beban hukum (taklif syara). Oleh karena itu, apa yang disebut-sebut hari ini sebagai pernikahan dini, tidak menjadi soal dalam pandangan Islam. Selama tidak ada paksaan dan telah ada kesiapan dari kedua belah pihak yang akan menikah. Yaitu kesiapan ilmu, materi, atau kemampuan memberi nafkah serta kesiapan fisik.