Bagaimana dengan istilah “moderat”?
Jika “moderat” di maknai sebagai “wastahiyah”, maka sifat wasathiyah, sejatinya adalah karakter ajaran Islam itu sendiri.
Karakter dasar Islam adalah membedakan manhaj Islam dari metodologi-metodologi yang ada pada paham-paham, aliran-aliran, serta falsafah lain. Sikap wasathiyah Islam adalah satu sikap penolakan terhadap ekstremitas dalam bentuk kezaliman dan kebathilan. Ia tidak lain merupakan cerminan dari fithrah asli manusia yang suci yang belum tercemar pengaruh-pengaruh negatif.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman (yang artinya): “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas manusia.” (QS al-Baqarah:143).
Baca Juga:Kembangkan Potensi, Masyarakat dan Perguruan Tinggi Jalin Sinergitas di Sukamulya CibogoPendamping PKH Sukses Dampingi Anak KPM Jadi Seorang Prajurit TNI
Umat yang adil dan umat pilihan adalah ‘ummatan wasatha’ (umat pertengahan); umat yang tidak ekstrim. Untuk saat ini, terjemahan “umat pertengahan” atau “umat yang adil dan pilihan” mungkin lebih tepat dari pada umat moderat, mengingat banyaknya kerancuan dalam istilah moderat yang digunakan oleh Barat dan kaum sekular-liberal saat ini.
Kehadiran Nabi Muhammad ﷺ dan umat Islam adalah untuk menjadi jalan tengah bagi ekstrimitas dua komunitas Yahudi dan Kristen; umat Yahudi yang lebih condong kepada urusan dunia semata dan umat Nasrani yang condong kepada kehidupan kerohanian semata, dengan memencilkan diri di biara-biara dan tidak kawin.
Kata Buya Hamka: “Bangkitnya Nabi Muhammmad ﷺ di padang pasir Arabia itu, adalah membawa ajaran bagi membangunkan ummatan wasathan, suatu ummat yang menempuh jalan tengah, menerima hidup di dalam kenyataannya. Percaya kepada akhirat lalu beramal di dalam dunia ini. Mencari kekayaan untuk membela keadilan, mementingkan kesehatan rohani dan jasmani, karena kesehatan yang satu bertalian dengan yang lain. Mementingkan kecerdasan fikiran, tetapi dengan menguatkan ibadah untuk menghaluskan perasaan.
Itulah makna “ummatan wasatha”. Yakni, umat yang adil, menghindari ekstrimisme, dan selalu berpihak kepada kebenaran. Karena itu, konsep ‘al-wasathiyyah’ dalam Islam bukan berarti sikap yang tidak memiliki pendirian untuk menentukan mana yang haq dan mana yang bathil. Al-Wasathiyyah juga tidak bermakna sikap ‘plin-plan’, dengan mengorbankan kebenaran demi untuk mencapai tujuan keduniawian.