Dalam Islam, kepemilikan tanah didasarkan pada produktivitas tanah.
Sebagaimana Rasulullah saw bersabda: “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya”. (HR. Ahmad)
Jika ditemukan tanah dimiliki oleh orang yang lemah atau malas sehingga tanahnya terlantar yang menyebabkan produktivitas tanah berkurang, maka dia tidak dapat memiliki tanah tersebut. Sebaliknya jika mampu berproduksi di tanah tersebut, maka dialah yang memilikinya. Bahkan pada masa Kekhilafahan Umar bin Khattab telah menjadikan masa penguasaan tanah oleh seseorang adalah selama tiga tahun. Jika tanah dibiarkan hingga habis masa tiga tahun, lalu tanah itu dihidupkan oleh orang lain, maka orang terakhir inilah yang berhak atas tanah tersebut. Dengan konsep pengaturan lahan seperti ini akan menjaga kepemilikan seseorang atas lahan sekalipun tidak memiliki sertifikat. Bahkan bisa memudahkan siapa pun untuk memiliki lahan, asalkan sanggup menghidupkannya.
Terkait hadirnya fungsi negara, maka Islam meniscayakan padanya sebagai pelayan/pengurus dengan menjalankan syariat Islam secara komprehensif pada seluruh aspeknya. Hal ini berdasarkan pada sabda Rasulullah saw: “Imam/penguasa adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya”. (HR. Muslim dan Ahmad). Syariat Islam inilah yang akan mencegah dan menyelesaikan seluruh masalah ataupun konflik yang terjadi di tengah masyarakat secara adil. Negara sendiri tidak boleh memberikan pengistimewaan kepada sebagian warganya, seperti para kapital. Semua rakyat yang berada di bawah kekuasaannya wajib mendapat perlakuan sama. Karakter aparat dalam sistem Islam pun adalah yang memiliki ketakwaan pada Allah, amanah, dan kompeten di bidangnya serta bersikap baik melayani rakyatnya. Dengan begitu, mafia tanah akan bisa dicegah dan dihentikan.
Wallahu’alam bi ash-Showwab.