Historis agama di Nusantara, adalah historis damai dan saling membantu. Agama tak dipersepsikan sebagai berebut benar. Namun mengimani kebenaran dalam agama masing-masing. Di ruang publik agama menjadi penuntun untuk berbuat kesantunan dan menyebar kedamaian. Juga menghormati yang lain. Di ruang private, agama adalah kontemplasi mesra individu dengan Sang Kreator Alam Semesta.
Doktrin agama adalah meng Esa-kan, Sang Kreator Alam Semesta yang Agung. Dan menampilkan “wajah-Nya” yang penuh kasih sayang dan kedamaian dalam laku sosial dengan sesama serta alam. Itulah wujud keimanan kepada Yang Maha Esa. Tanpa itu, agama hanya jadi kepentingan pemeluknya untuk merasa paling benar dan paling soleh.
Sebagai kebenaran mutlak, Yang Maha Esa bagaikan “Cahaya di atas Cahaya”. Yang pendaran cahayanya bisa dilihat oleh siapapun. Siapapun yang memandang cahaya kebenaran akan menerima cahaya itu sesuai kadar kemampuannya. Juga kebeningan hatinya. Pendaran cahaya itu bisa dilihat dan diterima oleh siapapun. Cahaya kebenaran itu, bukan milik yang melihat. Namun siapapun yang melihat cahaya itu, bisa jadi mendapatkan cahaya kebenaran. Kebenaran yang menggerakkan manusia untuk berbuat kebaikan, menghargai sesama dan mengimani Pemilik Kebenaran Mutlak.
Baca Juga:Dapur Umum Kemensos Salurkan Makanan Siap Saji untuk Penyintas Erupsi Gunung Semeru, Bukan Bahan MakananPublikasi Karya Ilmiah
Seperti kebenaran Sang Kreator Alam Semesta yang menggerakkan Aminuddin untuk menemani Ottow dan Geissler di Mansinam. Juga menggerakkan Yayasan Indonesia Barokah menggerakkan pendidikan di Papua. (*)
OLEH: Kang Marbawi