Pojokan 77
Kaset kusut itu selalu diputar setiap mendekati Dies Natalis dan Nowruz. Orang berebut argumen untuk mencegah dan atau mengucap kata. Seolah kata yang dikeluarkan berdampak pada masa depan diri dan tuhannya. Entahlah!
Padahal subjek yang menjadi musabab itu sendiri adalah penyebar kasih dan keselamatan. Seperti juga Nabi Agung yang menyebar rahmat bagi semesta. Tak beda! Sebab kata kitab suci, tak ada beda antar utusan sang Pencipta Semesta. Sama dalam menyeru kepada Sang Pencipta. Umatnya yang kemudian membatasi pada kesempitan definisi dan cara menjalankan kepercayaan-aqidah.
Nowruz sendiri sudah diperingati sejak zaman Mesopotamia. Nowruz atau hari baru ditandakan sebagai perayaan kemenangan raja Mesopotamia setelah berhasil membunuh Naga.
Baca Juga:Taekwondo Subang Sabet Delapan Medali, Ini Daftar Atletnya!Kader PAN Subang Dilatih Strategi Menang Pemilu 2024, Lutfi: Rebut Kekuasaan!
- Abdollahy menulis soal Nowruz “Calender II, Islamic Period” dalam Encyclopedia Iranic Vol. 4 tahun 1990. Menurut Abdollahy, Nowruz adalah hari pertama Farvardin dalam bulan pertama Kalender Matahari Iran. Saat ini, interpretasi Nowruz atau hari baru-tahun baru sebagai bentuk semangat baru dengan segenap rencana atau resolusi.
Begitupun Dies Natalis -perayaan hari lahir. Dimaknai sebagai wilayah agama-bahkan aqidah. Padahal juga punya makna sosiologi dan humanis. Manusia akan membawa makna Dies Natalis itu sesuai kecenderungan dan perspektif sosiologis dan konservative. Kecenderungan itu seolah ruang private yang tak berjendela dan tak bisa masuk atau dimasuki perspektif dunia luar. Seolah kepercayaan itu hanya untuk dia dan tuhannya. Padahal Tuhan pencipta alam semesta, menciptakan entitas lain yang memercayai Nya dengan cara yang berbeda.
Subjek Dies Natalis itu seperti disebutkan oleh puisi Jalaluddin Rumi:
“Tubuh ini ibarat Maryam. Dan masing-masing mempunyai Isa di dalam diri. Apabila Derita Cinta Datang, maka Isa akan lahir.”
Agama sejatinya suci dan welas asih. Bukan senjata untuk menyerang, menindas dan menghakimi sesama dengan tak manusiawi.
“Dalam agama kita berpergian diakui sebagai peperangan dan bahaya” Rumi
Sebab menurut Rumi, Cintalah yang bisa menyatukan sang pencinta dengan Sang Khalik. Maka kemudian bagi Rumi, tidak penting Muslim atau non Muslim, Yahudi atau Nasrani. Yang penting adalah ia menyembah Tuhan yang satu.