Sungguh tak terbayangkan kondisi di saat suami dan istri memaksakan untuk berada di garda yang sama. Misal semua berkehendak untuk keluar rumah, berlomba menunjukkan eksistensi diri dengan berkarir di dunia kerja. Atau karena kesulitan kondisi ekonomi, memaksa keduanya (suami dan istri) berjuang mencari nafkah. Pada akhirnya muncullah konflik kepentingan. Waktu dari keduanya tersedot untuk menyelesaikan pekerjaan masing-masing. Rumah hanya menjadi tempat persinggahan di kala lelah melanda. Anak-anak yang dilahirkan pun tak mendapat sentuhan kasih sayang yang cukup. Mereka kerap tumbuh dan terdidik oleh gadget. Akhirnya bermunculanlah problem anak broken home, tak paham arti hidup, menjalani keseharian dengan prinsip liberal, permisif, hedonis dan seterusnya. Mereka pun rentan terjerumus pola pergaulan dan seks bebas, narkoba, gaya vandalistis, serta kasus-kasus anak dan remaja lainnya yang sangat mengriris hati.
Apalagi ketika problem ekonomi yang menimpa hampir semua keluarga saat ini disikapi oleh penguasa secara keliru. Yakni dengan mendorong perempuan (para istri) berdaya secara ekonomi dalam arti mampu menghasilkan pundi-pundi harta. Bukannya justru mendukung suami sukses dunia akhiratnya, yang ada malah menjadi bumerang ke arah rusaknya ketahanan keluarga.
Semua hal di atas sesungguhnya berlaku ketika problematika kehidupan disikapi dan disolusikan tanpa mengurai hingga ke akarnya. Mereka mengira persoalan ekonomi itu berdiri sendiri dan cukup disolusikan dengan memperbaiki kondisi ekonomi. Maka ketika ekonomi keluarga tak sanggup diselesaikan oleh seorang suami, nalar mereka berkata bahwa istri wajib mendukung suami dengan berdaya secara ekonomi. Dikiranya di situ akan habis perkara. Padahal yang terjadi justru masalah lainlah tengah menunggu. Rapuhnya ketahanan keluarga dan problem anak pun bermunculan sesudahnya.
Baca Juga:SumsumThinking About No-Hassle puerto rican brides Secrets
Datangnya ujian pandemic malah disolusikan dengan prinsip kaptalistik yang hanya mengedepankan aspek materi, sehingga terjadi berkepajangan. Penguasa enggan mengambil sikap memutus rantai pandemi dengan menerapkan lockdown total di awal munculnya kasus demi itung-itungan untung rugi. Pandemi sekadar disolusikan setengah hati dengan kebijakan PPKM. Ekonomi pun porak-poranda, perusahaan-perusahaan gulung tikar, ekonomi rakyat kecil macet, para penanggung nafkah keluarga banyak yang di-PHK. Kebijakan penangan wabah diterapkan tanpa memberi kesempatan rakyat mendapat dukungan kebutuhan asasi individu dan komunal secara penuh. Rakyat pun makin kepayahan tanpa mengetahui harus mengadu dan bergantung pada siapa.