Benarkah RUU TPKS mampu mengatasi kejahatan seksual? Dan mengapa banyak pihak, termasuk ormas Islam justru menolak RUU tersebut?
RUU TPKS Bermuatan Liberal
Meski pemerintah dan mayoritas fraksi di DPR telah sepakat untuk segera mengesahkan RUU TPKS, masih banyak pihak yang menolak RUU tersebut. Penolakan itu bukan berarti mengabaikan tindak kejahatan seksual, melainkan karena adanya kelemahan pada muatan materi dalam naskah RUU tersebut.
Salah satu kelemahan tersebut, yaitu tidak adanya definisi yang jelas tentang kekerasan seksual. Padahal kekerasan seksual adalah persoalan yang ingin diselesaikan. Dalam RUU TPKS, kekerasan seksual didefinisikan sebagai “setiap perbuatan yang bersifat fisik atau nonfisik, mengarah pada tubuh dan atau fungsi alat reproduksi yang disukai atau tidak disukai secara paksa dengan ancaman, tipu muslihat, atau bujuk rayu yang mempunyai atau tidak mempunyai tujuan tertentu untuk mendapatkan keuntungan yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, dan kerugian ekonomis.”
Baca Juga:Krisis Kazakhstan, Waspadai Potensi Intervensi AsingFraksi PAN Minta Pemkab Subang Tangani Sampah Berkolaborasi dengan Desa
Definisi tersebut memberi kesan bahwa sebuah perbuatan seksual yang dilakukan tanpa paksaan, dilandasi suka sama suka, meski diluar pernikahan, tidak akan dikategorikan sebagai perbuatan yang harus diberi sanksi.
Konsep sexual consent melalui pandekatan hak asasi manusia dan kesetaraan gender dalam RUU ini pun berpotensi melegalkan seks bebas dan seks menyimpang. Ini karena dalam RUU TPKS tidak membahas tentang penyimpangan seksual, seperti LGBT. Sehingga berbagai bentuk penyimpangan seksual tidak akan dianggap sebagai kejahatan jika dilakukan dengan adanya persetujuan.
Aroma liberal pun terlihat dari salah satu isi RUU TPKS yang memasukkan materi penghapusan Kekerasan Seksual sebagai bahan ajar dalam kurikulum, nonkurikulum, dan/atau ekstrakurikuler pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi. Masalahnya, pendidikan seks ini berbasis liberal. Alih-alih mengajarkan tentang edukasi seks, justru memberi panduan anak-anak untuk berperilaku seks bebas. Kondom pun dilegalkan dengan dalih “safe sex”.
Lantas untuk apa ada RUU TPKS jika tidak melarang seks bebas dan seks menyimpang, padahal aktivitas tersebut berpotensi kuat menimbulkan tindak kekerasan seksual?
Di sisi lain, umat Muslim perlu mewaspadi adanya desakan internasional dalam RUU ini. Pasalnya, RUU TPKS tak bisa dilepaskan dari kampanye Sexual and Reproduktive Healt and Rights (SRHR) yang diluncurkan saat Konferensi Kependudukan (ICPD) tahun 1994 dan termasuk salah satu dari area kritis Beijing Platform for Action (BPfA) tahun 1995.