Oleh
1.Anik Riyati,SPd,MM ( Guru Geografi SMAN 1 Banjar Margo ,Lampung )
2.Drs.H.Priyono, MSi ( Dosen Senior pada Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Kolumnis Jabar Pasundan Ekspres )
Ada hikmah di balik duka , istilah ini mungkin sering kita dengar. Tak pelak lagi karena suatu bangsa, masyarakat atau bahkan manusia tak luput dari bencana, duka dan derita. Hanya saja bedanya jika bangsa atau masyarakat maka terdiri dari banyak manusia dan jiwa yang menghadapi secara bersama, tetapi jika duka itu melanda kehidupan seseorang maka beban itu seolah hanya menjadi tanggunan sendiri. Ketika terjadi bencana banjir, tanah longsor, gunung meletus, tsunami, angin putting beliung maka derita akan banyak disandang oleh banyak orang, akan tetapi jika duka itu terkait dengan bencana seseorang misal kemtian, musibah sakit, ataupun sebuah kegagalan individu maka hanya personal atau beberapa orang yang merasakannya.
Ajaibnya makhluk yang bernama bencana, duka dan derita itu bisa datang dalam berbagai cara dan rupa, serta seolah muncul dalam berbagai gaya. Menerpa dalam berbagai dada dan jiwa. Tak memandang kecil, besar, kaya dan miskin. Rasa pada derita dan duka itu kadang-kala tidak diukur dengan kadar sebabnya, tetapi dengan kadar perasaan yang mengenainya. Pada perasaan dalam penerimaan bencana,tidak semua bisa menghadapi dengan lapang dada, karena materi khusus seperti ini jarang dijumpai saat kita berada di bangku sekolah atau di perguruan tinggi.
Baca Juga:Takut Jarum Suntik, Hanya 10 Persen PNS di Subang Rutin Donor DarahArteria Dahlan Minta Maaf, Kasusnya Tetap Harus Diproses
Lalu adakah hubungan bencana dengan perbaikan mental? Mungkin itulah pertanyaan yang muncul dibenak kita semua. Ibarat pendidikan, materi ini langsung dari Sang Pencipta, berupa pendidikan mental yang secara sadar harus kita terima, agar lebih bijak menerima keadaan.
Dalam ilmu komunikasi seolah ini merupakan jenis komunikasi voluntary attention, karena komunikasi ini menuntut perhatian dari stimulus yang diberikan untuk suatu bangsa atau seseorang yang harus dikenainya. bersedia memperhatikan stimulus yang diterima, baik secara visual, atau berupa audiotory (bisa dilihat atau hanya dapat didengar).
Proses perbaikan mental bangsa atau seseorang dimulai sejak menuangkan konsentrasi energi dan pikiran agar dapat fokus mencari cara untuk bertahan dan memperbaiki keadaan.