Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Pemerintah melalui Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengeluarkan kebijakan baru, Sebelumnya, ia sudah menetapkan minyak goreng satu harga Rp 14.000 di toko ritel modern. Kebijakan baru itu berupa penetapan batas harga bahan baku minyak goreng agar terjangkau oleh produsen. Kebijakan ini juga didukung oleh kewajiban pemasokan bahan baku ke dalam negeri dari eksportir bahan baku minyak goreng (liputan6.com, 27/2022).
Mendag Lutfi mengeluarkan kembali kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 20 persen bagi eksportir bahan baku minyak goreng. Serta, Domestic Price Obligation (DPO) untuk harga bahan baku minyak goreng di dalam negeri. Pekan lalu, kebijakan yang tertuang di Permendag nomor 01/2022 dan Permendag 03/2022, menyebutkan pemerintah telah menggelontorkan subsidi sebesar Rp 7,6 triliun dari dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) guna menstabilkan harga.
Skemanya, selisih harga akan dibayarkan kepada produsen minyak goreng sebagai pengganti selisih harga keekonomian yang ada di pasar. Namun hanya berlaku sekitar dua pekan saja untuk masing-masing periode yaitu periode 4-18 Januari 2022 dan 19-31 Januari 2022.
Baca Juga:Kisah Duka Dibalik Pembelajaran Selama Pandemi Covid-19Ridwan Kamil Resmikan Pusat Budaya Pagerageung Tasikmalaya
Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan mengatakan,“Tapi mulai 1 Februari 2022 karena harga CPO (Crude Palm Oil) sudah ditetapkan dan bahan bakunya sudah diturunkan (harganya) melalui DPO, maka dalam hal ini pembayaran selisih harga dari harga keekonomian ke harga HET tidak lagi diperlukan. Jadi, BPDPKS tak perlu lagi siapkan anggarannya,” tuturnya.
Klaim produsen minyak goreng terhadap pembayaran selisih dana keekonomian akan dilakukan setelah tanggal 31 Januari 2022. Artinya, produsen minyak goreng masih harus bersabar menerima pembayaran dari pemerintah, bukan langsung diterima begitu mereka memenuhi target DPO. Sedangkan dana Rp 7,6 triliun dari BPDPKS ternyata juga hanya digunakan untuk enam bulan upaya penstabilan harga minyak goreng di pasaran dengan skema yang disebutkan sebelumnya.
Nampak jelas, dengan kebijakan terbaru ini, keadaan tak lebih baik. Dan posisi pemerintah juga tak bergeser seincipun dari posisinya yang sekarang hanya sebagai regulator kebijakan. Sebab pemerintah menganggap perannya dicukupkan hanya dengan penetapan HET dan ‘pemaksaan’ pada produsen sawit untuk menjual 20% sawit utk produksi minyak dalam negeri. Benarkah mampu menjadi solusi?