Pematokan harga juga berimbas pada konsumsi barang, selanjutnya pada produksi barang bahkan bisa lebih parah lagi mengakibatkan krisis ekonomi. Sebab kekayaan hanya dikuasai oleh orang-orang yang bermodal besar bahkan memiliki kekuasaan.
Dalam Islam seorang pemimpin harus memikirkan dan melayani kepentingan umum. Jika terjadi kelangkaan barang, pemimpin tersebut harus berusaha mencukupi pengadaan barang tersebut di pasar dan mengusahakannya dengan mengambilnya dari kantong-kantong pusat barang tersebut.
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab ra. pernah terjadi peristiwa yang disebut Am ar-Ramadah, yaitu paceklik yang hanya terjadi di Hijaz sebagai akibat langkanya makanan pada tahun tersebut. Harga makanan melambung tinggi saking langkanya. Umar tidak mematok harga, melainkan beliau mengirim dan menyuplai makanan dari Mesir dan negeri Syam ke Hijaz. Berakhirlah krisis tanpa harus mematok harga.
Baca Juga:Kisah Duka Dibalik Pembelajaran Selama Pandemi Covid-19Ridwan Kamil Resmikan Pusat Budaya Pagerageung Tasikmalaya
Inilah pula yang harus dilakukan pemimpin hari ini, mengupayakan subsidi silang dari berbagai wilayah yang surplus, memperbaiki pertanian kelapa agar tak didominasi penguasa asing, mengawasi produksi dan industrinya hingga sampai ke tangan rakyat. Semua operasional dibiayai Baitul mal, dimana sumber pemasukan terbesarnya bukan utang luar negeri dan pajak.
Sistem kapitalisme sekuler ini jelas tak akan bisa mewujudkan , sebab landasan pengaturannya adalah manfaat, artinya berhitung untung rugi di sisi negara. Secara teknis negara telah terkooptasi dengan ide dan pemikiran para investor itu, sehingga tak berpikir bahwa melayani seluruh urusan rakyat ada di pundak penguasa. Wallahu a’ lam bish showab.(*)