Perspektif

Kang Marbawi
0 Komentar

Pojokan 88

“Hukum atau kebijakanlah yang harus disesuaikan dengan nilai kemanusiaan dan keadilan, untuk melahirkan kesejahteraan sosial. Dengan begitu manusia akan melihat hukum sebagai bagian dari perangkat kehidupan yang penting”

***

Manusia cendrung merespon dengan cepat situasi kekinian atau realitas dengan defensif atau sesuai kepentingannya. Melihat sesuatu dari sudut pandang “kebaikan” atau “kebenaran” dalam persepsinya.  “Keukeuh” pada satu sudut pandang dan tak mau menerima pandangan lain, inilah yang melahirkan konflik.

Ambil contoh protes terhadap Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT). Atau respon terhadap Surat Edaran Menteri Agama No 5 Tahun 2022, soal Pedoman Penggunaan Suara di Masjid dan Musala. Atau syarat keikutsertaan dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Juga protes-protes lain atas pelbagai kebijakan yang sering kali terjadi. Konflik pun hadir dari perasaan terancam. Seperti Ukraina dan Rusia, sama-sama merasa terancam. Melahirkan agresi. Tak ketinggalan korban dan pengungsi.

Baca Juga:Pesan Terakhir Arifin Panigoro kepada Ridwan Kamil: Rumuskan Kebijakan Terbaik Bidang KesehatanApdesi Subang Sampaikan Belasungkawa Atas Meninggalnya Kepala Desa Blanakan Kartini

Perspektif “kebaikan” atau “kebenaran” antara satu pihak dengan pihak yang berbeda, bisa jadi sama-sama tak salah.  Sebab sudut pandang terhadap “sesuatu” yang dijadikan konflik, berbeda titik tolak dan titik tumpunya. Titik tumpu pada definisi “kebaikan” atau “kebenaran” yang disesuaikan dengan kepentingan masing-masing. Titik tolak pada isu yang diprotes. Inilah letak “konflik”nya.

Definisi atau tafsir yang berbeda dalam agama juga melahirkan konflik. Konflik yang dilatarbelakangi perspektif agama berbalut tafsir sepihak dibungkus prasangka (narsisme agama), melahirkan kekerasan dan intoleransi.

Titik tumpu perspektif “kebenaran” atau “kebaikan” yang berbeda, dengan cerdas tergambar dalam anekdot Nasruddin Hoja. Sufi satirikal dari Dinasti Saljuk yang lahir di Desa Hortu dan meninggal di Konya Turki ini, berperan sebagai hakim.

“Mula-mula, Nasrudin Hoja mendengarkan dakwaan yang berapi-api dengan fakta yang tak tersangkalkan dari jaksa. Setelah jaksa selesai dengan dakwaannya, Nasrudin berkomentar: “Aku rasa engkau benar.”

Terdakwa diwakili oleh pengacara yang pandai mengolah logika menyampaikan sanggahannya. Nasrudin pun terpikat. Setelah pengacara selesai, Nasrudin kembali berkomentar: “Aku rasa engkau benar.”

0 Komentar