Petugas mengingatkan Nasrudin bahwa tidak mungkin jaksa betul dan sekaligus pengacara juga betul. Harus ada salah satu yang salah! Nasrudin menatapnya lesu, dan kemudian berkomentar: “Aku rasa engkau benar.”
Kemudian, Nasrudin berbincang-bincang dengan hakim kota. Hakim memulai, “Seandainya saja, setiap orang mau mematuhi hukum dan etika…”
Nasrudin menukas, “Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukum lah yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan.”
***
Baca Juga:Pesan Terakhir Arifin Panigoro kepada Ridwan Kamil: Rumuskan Kebijakan Terbaik Bidang KesehatanApdesi Subang Sampaikan Belasungkawa Atas Meninggalnya Kepala Desa Blanakan Kartini
Sekali waktu, konflik bukan antara benar dan salah, tetapi kadang konflik adalah antara argument yang sama-sama benar. Seperti cerita Nasruddin di atas. Sebab jika konflik antara yang benar dan salah, maka ambil yang benar. Namun jika antara yang benar dengan yang benar, butuh kebijaksanaan khusus, untuk mengambil keputusan. Walau diakui akan banyak “nyamuk-nyamuk” persepsi dan kepentingan yang berseliweran untuk memengaruhi keputusan itu.
Dalam konteks realitas kehidupan, tak ada kebenaran yang utuh, tunggal dan berdiri sendiri. Selalu ada sesuatu yang dianggap kebenaran dalam prespektif yang berbeda. Memutuskan, tidak bisa didasarkan atas kebenaran atau kebaikan masing-masing. Bisa jadi, keputusannya harus didasarkan atas dasar kemaslahatan, nilai luhur kemanusiaan, keadilan dan kesejahteraan bersama. Juga urgensi realitas yang dihadapi saat ini dan yang akan datang.
Sama halnya niat baik yang tak terkomunikasikan dengan baik, akan menuai hasil atau respon yang tak baik. Bisa jadi niat baik dipandang sesuatu yang tak baik atau mengancam sesuatu yang dianggap “baik” oleh pihak lain. Perspektif dalam memandang sesuatu yang dianggap “baik” terhadap satu objek, bisa jadi beragam warna dan cara pandang. Sudut pandang inilah yang harus didengar, dikomunikasi dan didiskusikan untuk menemukan titik temu. Juga dengan kerendahan hati untuk menerima perspektif lain. Bukan bermula dititik prasangka, pemicu konflik dan ketakutan. (*)
OLEH: Kang Marbawi