“Tapi prediksi-prediksi ini sulit ditemukan justifikasinya mengingat variabel kepanikan sulit dihitung,” ujarnya.
Indonesia, tutur Komaidi, sebagai pricetaker tidak memiliki kemampuan untuk mengintervensi harga minyak sehingga berapa pun angka yang terbentuk harus tetap diambil. Menurut dia, dalam hal ini tentu ada risiko fiskal dan moneter terkait dengan harga jual BBM yang akan menyertai fenomena tersebut.
“Dalam jangka pendek Indonesia relatif tidak memiliki pilihan (penentuan harga jual BBM),” katanya.
Baca Juga:Kodim 0619 Purwakarta, Dukung Ketahanan Pangan Melalui Komsos Pembibitan Ikan Lele Kepada WargaBerhasil Ungkap Banyak Kasus Curanmor, Lemkapi Anugerahkan Penghargaan Kepada Kapolresta Bandung
Keputusan manajemen Pertamina menaikkan harga BBM dengan nilai RON (real octane number) tinggi serta elpiji nonsubsidi, tegas Komaidi, merupakan kewenangan badan usaha.
Dalam situasi harga minyak dunia seperti saat ini, dia pun menilai jika Pertamina atau badan usaha lain menyesuaikan harga BBM nonsubsidi merupakan sebuah kewajaran dan memiliki landasan yang kuat.
Bagi Pertamina, kata Komaidi, keputusan untuk menentukan harga Pertalite dan Pertamax yang merupakan produk nonsubsidi relatif sulit karena perusahaan harus mendapat restu dari pemegang saham yakni pemerintah.
Jika pemegang saham belum memberi restu perusahaan saya kira juga tidak dapat melakukan aksi korporasi dalam bentuk penyesuaian harga BBM. (bbs/sep)