Pojokan 91
Diskusi gayeng namun cukup “kencang” seperti arus deras yang menabrak bebatuan dan kembali tenang pada dibibir sungai, menjadi menu wajib ketika Kami bertemu. Dimanapun dan kapanpun, selalu terjadi diskusi. Tentang isu-isu moderasi, humanisme, politik, agama, budaya, keluhannya tentang para peneliti dan “tetek-bengek” hal yang “remeh temeh” lainnya. Justru yang “remeh-temeh” itulah, pertemuan menjadi gayeng dan dihujani tawa dan canda.
Dikelompok kecil diskusi Kami, Kami menyebut dia “Pu’un Huri” -sebutan untuk sesepuh suku Baduy di Banten. Bahkan kadang, Kami menyebutnya “Wali Huri” karena “kenyelenehan” cara berpikirnya dalam memandang sebuah persoalan. “Sayangnya tak ada lagi pendaftaran jadi wali, selain wali nikah”, begitu seloroh beberapa teman, ketika berdiskusi dengannya.
Gaya khasnya yang selalu menyelipkan sebatang rokok kretek dibibir dengan sambungan “padudan” dari gading gajah atau menjempitnya disela-sela jari. Matanya yang selalu berbinar hangat, ketika bertemu dan berdiskusi dengan kawan, menjadi kenyamanan siapapun untuk berlama-lama dengannya.Tentu menu isu-isu aktual dengan sajian yang berbeda dari sudut pandang mainstream, menjadi menu utama ketika diskusi.
Baca Juga:Sebanyak 35 SMK Negeri di Jabar Sudah Resmi Jadi BLUDSherpa Meeting U20 Sepakati Enam Isu Global
Sekitar akhir tahun 2019 saya mengenal beliau, Akhmad Huriyuddin, sebagai salah satu pejabat di Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Agama (Puslitbang Penda) Kementerian Agama. Kolaborasi program untuk penguatan Guru Pendidikan Agama Islam (2020) hingga Program Guru Pelopor Moderasi (GPM) yang diinisiasi oleh Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII) tahun 2021. Belum lama. Tapi membekas dalam dan menapak kuat. Membentuk sebuah prasasti imaginasi sosok yang hangat, cerdas, kritis, humoris dan nyleneh.
Baginya pengamalan agama harus bersentuhan dengan kemanusiaan dan kebudayaan. Agama bukan bulldozer tanaman kehidupan yang menyuburkan bibit kebudayaan, kearifan lokal, welas asih dan kemanusiaan. Bagi Pu’un Huri, budaya itu adalah “indung” hidup. Agama adalah “bapaknya” hidup yang menuntun indung hidup, meraih kedamaian lahir dan batin.
Esensi keimanan seseorang dalam agama apapun bagi Pu’un Huri adalah laku lampah welas asih, menguatkan dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Konsep moderasi beragama dalam pandangan Pu’un Huri menjadi jalan tengah bagi kelompok yang memerjuangkan agama sebagai jalan politik dan kelompok yang menganggap agama sebagai bagian dari ritual-individual yang transenden. Moderasi beragama baginya adalah praktik beragama yang dilandaskan pada esensi ajaran agama yang humanis-teosentrin. Berlandaskan kepada prinsip menghargai kemanusiaan, keadilan dan penghargaan terhadap konstitusi bernegara. Inilah yang menjadi titik temu antara Kami, teman-teman Pu’un Huri, dengan dirinya.