Pojokan 96
“Dengan gamelan itu ia hidup di jaman kegemilangan nenek moyangnya, sedang dengan musik Barat ia hidup di jaman keyatimpiatuan modern di masa-masa mendatang”
Gumaman lirih Kartini tersebut disampaikan dalam surat kepada Estella Zeehandelaar. Kita tidak tahu, gumaman lirih yang ditulis Kartini kepada Estella, ditujukan untuk musik Barat yang mana? Apakah yang klasik atau yang bukan klasik.
Terlepas dari itu, ada sikap ideologis dari Kartini terhadap warisan budaya leluhur, Gamelan. Dan sebuah kritik terhadap sesautu yang dianggap modernitas (baca musik Barat) yang dianggap asing dalam konteks budaya Jawa. Diksi “yatimpiatu” yang dimaksudkan kepada musik Barat, lebih kepada keterasingan Kartini ditengah budaya kolonial yang menghegemoni budaya Bangsa Indonesia. Pun, hegemoni intelektual akademik yang juga masih terjadi hingga saat ini.
Gamelan dan juga musik-musik tradisional lainnya, bagi Kartini adalah representasi dari sejarah panjang budaya dan intelektual estetis sebuah bangsa. Warisan budaya seni adi luhung yang berakar terhadap sejarah, perjalanan spiritual dan sosial sebuah masyarakat.
Baca Juga:Hujan Lebat, Debit Cipunagara NaikKasus Covid di Subang Merendah Jelang Lebaran
Bagi Kartini, gamelan tidak pernah bersorak-sorai, sekalipun di dalam pesta yang paling gilapun. Dia terdengar sayu dalam nyanyiannya, mungkin begitulah seharusnya. “Kesayuan itulah hidup, bukan nyanyi bersorak-sorai!” Bukan budaya selera rendah!
Produk budaya yang cepat lekang oleh waktu, menunjukkan produk budaya tersebut dalam proses kreatifnya tak berbalut spirit hidup, renungan spiritual dan sosial. Hanya memanjakan selera pasar.
“Aku terkenang pada suatu malam belum lama berselang. Seorang kenalan membawa kami berdua mengunjungi sebuah konserta di gedung kesenian di Semarang. Itulah buat pertama kali dalam seluruh hidup kami, bahwa kami berdua, tanpa membawa si adik, tanpa Ayah, tanpa Ibu, berada di tengah-tengah lautan manusia. Kami berasa sendiri, sangat sendirian di antara orang-orang yang sama sekali tidak kami kenal. Dan tiba-tiba kami berpikir: Beginilah bakalnya hidup kita di kemudian hari! Kita hidup seorang diri di tengah-tengah lautan kehidupan yang besar!” tulis Kartini dalam suratnya kepada Estella Zeehandelaar.
Surat itu disampaikan setelah Kartini mendampingi ayahnya Bupati Jepara -Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, menyambut Gubernur Jenderal Willem Roosebom di Hotel Du Pavillon. Hotel terbaik di Semarang tahun 1847 itu dikagumi Kartini, yang digambarkan bak istana di negeri dongeng. Kekaguman yang ditulisnya di Majalah Ee Echo tahun 1899.