Kartini berpikir futuristik terkait kehidupan dikemudian hari, dimana akan ada dominasi budaya Barat. Pengalaman mendengarkan musik Barat secara naluriah membawa Kartini pada ruang waktu yang berbeda. Dan di dalam ruang waktu itu kembali ia temukan rakyatnya, bangsanya dan negerinya. Yang terdefinisikan dalam “Gamelan” sebagai budaya adi luhung versus musik Barat. Tentu musik-musik daerah lain yang memiliki proses kreatif spiritual dan pemaknaan akan kehidupan.
Gamelan menyebabkan tubuhnya tertarik untuk bergerak dan hanya dengan kekerasan saja ia tidak dapat tolak kekuasaannya. “Gamelan itu, menuangkan arus api ke dalam nadi-nadi kami …“ Surat Kartini, 20 Agustus 1902, kepada Nyonya Nelly Van Kol. Nellie van Kol (1851-1930), istri pimpinan Partai Buruh Sosialis Demokrat Henri van Kol (1852-1925) yang juga anggota parlemen Belanda. Nellie sempat tinggal di Jawa pada 1880-an. Ia juga salah satu tokoh berpengaruh dalam gerakan feminis Belanda.
Estella adalah sahabat pena Kartini, setelah membaca iklan yang dipasang oleh Kartini di majalah Belanda De Hollandsche Lelie. Pada usia 20 tahun, Kartini memasang iklan di majalah Belanda, De Hollandsche Lelie, untuk mengetahui tentang pergerakan dan gagasan perempuan di Eropa. Sahabat pena lainnya adalah istri Jazques Henris Abendanon – Menteri Pendidikan, Agama dan Industri Hindia Belanda tahun 1900-1904, Rosa Manuela Abendanon. Ny. Abendanon intens berkomunikasi dengan Kartini selama berada di Hindia Belanda.
Diusianya dan dizamannya, Kartini betul-betul telah berpikiran maju dan independent namun juga gamang.
Baca Juga:Hujan Lebat, Debit Cipunagara NaikKasus Covid di Subang Merendah Jelang Lebaran
Gumaman soal gamelan dan diksi dalam suratnya “Kita hidup seorang diri di tengah-tengah lautan kehidupan yang besar!” menunjukkan sebuah sikap gamang. Kegamangan akan kelangsungan jati diri budaya bangsa di tengah arus besar budaya global.
Surat-surat Kartini menunjukkan sebuah sikap yang dikemudian hari, diteorisasi oleh Ki Hajar Dewantoro sebagai teori Trikon. Kartini mampu menunjukkan sebuah sikap untuk mempromosikan dan melestarikan budaya Jawa yang adi luhung (kontinue) dan mengembangkan budaya Jawa (konvergen) untuk kemudian mampu berdialog dengan budaya Barat (konsentris) dengan setara tanpa kehilangan akar budaya. Melahirkan kreatifitas dan daya kritis baru.