Hubungan saya dengan Kak Suhainie putus ketika saya pindah Surabaya. Tapi justru setelah di Surabaya itu saya bisa sering komunikasi dengan bos Alwy. Lewat SMS. Sesekali lewat telepon. Atau bertemu langsung. Kemudian lewat WA.
Kali ini saya mendengar Kak Alwy –begitu saya memanggilnya belakangan– masuk ICU. Kebetulan saya di dekat-dekat Samarinda.
Alhamdulillah. Ia sudah lebih baik. Sudah pindah ke kamar rawat inap. Memang masih ada selang oksigen di hidungnya tapi wajahnya terlihat segar. Ketika naskah ini terbit beliau sudah meninggalkan RS.
Baca Juga:Pengusaha Perempuan Binaan BRI, Dulang Untung dari Usaha EcoprintMensos Dampingi Jokowi Salurkan Bantuan di Kabupaten Serang
Begitu melihat kedatangan saya kak Alwy langsung bereaksi. Saya tempelkan jari telunjuk ke mulut saya. Saya memberi kode untuk tidak bicara-bicara dulu. Istrinya lagi salat duhur di sofa sebelah ranjang. Sang istri seorang profesor ekonomi. Sudah pensiun dari Universitas Mulawarman.
Putrinya juga ada di situ: seorang dokter. Ditemani satu anaknyi berumur 8 atau 9 tahun. Sang putri sebenarnya lagi kuliah untuk jadi spesialis anak di Unhas, Makassar.
Belum lagi saya mulai bicara, Kak Alwy sudah membuka mulut. Bicaranya jelas. Tegas. Seperti tidak sedang sakit.
Saya sulit berbasa-basi. Maka kondisi baik itu saya manfaatkan untuk menggali ”sejarah lama”: bagaimana Mimbar Masyarakat didirikan. Ia tinggal satu-satunya saksi hidup. Pelaku utama pula.
“Kak Alwy itu kan orang Banjar. Lahir di kampung apa?” tanya saya.
Kak Alwy tidak segera menjawab. Ia memperbaiki posisi corong oksigen yang menutup hidungnya. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu yang lama tersimpan hanya di pikirannya.
“Saya lahir di Sengkang….” katanya.
“Haaaahhhhhh…..?” seru saya spontan. “Jadi… Pian itu bukan orang Banjar?” tanya saya seperti tidak percaya.
Baca Juga:Pemdes Mundusari Kecamatan Pusakanagara Realisasikan Dana Desa untuk Bangun JalanDPRD Kabupaten Karawang Antisipasi Paham Radikalisme Masuk Sekolah
“Umur 40 hari saya dibawa bapak dan ibu ke Samarinda ini,” jelasnya.
Ayahnya pedagang eceran. Di Pasar Pagi. Di pinggir sungai Mahakam.
Memang banyak orang Sulawesi jadi pedagang di pasar itu. Mereka dikenal sebagai pekerja keras. Juga sering berkelahi. Sesekali ada peristiwa saling bunuh. Saya yang memberitakannya.
Ia tumbuh, besar, sekolah di Samarinda. Ia sekolah di Normal Islam Samarinda saat SD dan SMP.