Nancy, dalam pidato di tempat parkir itu mengutip ajaran sang suami: “Hidup ini tidak harus jadi peneliti. Tapi janganlah berhenti melakukan pencarian”.
Dan Nancy terus mencari cara bagaimana bisa mengurus pencairan asuransi jiwa almarhum.
Pengurusan asuransi itulah yang dijadikan titik tolak polisi. Empat tahun polisi baru bisa membawa perkara ini ke pengadilan. Peristiwa penembakannya sendiri terjadi tahun 2018. Sidang pengadilannya dimulai di awal tahun 2022.
Baca Juga:Surya Paloh Umumkan 3 Nama Bakal Capres Partai Nasdem! Sayangnya Nama Erick Thohir MenghilangJalankan Arahan Presiden, PLN Jaga Daya Beli Masyarakat dan Lindungi Pelanggan Listrik Subsidi
Jalannya sidang pengadilan hanya satu bulan. Tepatnya 6 minggu. Jaksa bisa meyakinkan 12 dewan juri. Mereka memutuskan: Nancy bersalah.
Senin lalu hakim menjatuhkan hukuman seumur hidup bagi Nancy. Dia naik banding.
Banyak sekali tulisan di media mengenai peristiwa ini. Saya membacanya berhari-hari, sedikit-sedikit, sebagai bahan tulisan ini. Salah satu tulisan terbaik, menurut review gratis saya, adalah karya Zane Sparling dari Oregonian.
Saya pernah berteman dengan seorang novelis Indonesia yang mati muda. Katanya: “Hidup paling bebas itu menjadi penulis novel. Puas. Bisa membunuh orang yang paling ia benci”. Aman. “Tanpa terkena pasal KUHP,” ujarnya sambil terkekeh.
Nancy tidak puas hanya membunuh di dalam novelnyi. Membunuh di novel hanya dapat honor. Membunuh di luar novel dapat asuransi. Plus penjara seumur hidup. (Dahlan Iskan)