Para ekonom memang akan selalu bilang: subsidi BBM itu salah sasaran. Pemilik mobil kok disubsidi. Tapi statistik berbicara seperti itu tadi. Belum pernah terjadi kenaikan BBM yang tidak membuat kemiskinan naik.
Saya bukan ekonom, tapi misteri di statistik tersebut harus ada bahasan teori ekonominya.
Memang tidak apa-apa tingkat kemiskinan naik. Katakanlah naik 2 persen. Demi penurunan subsidi. Tapi itu hanya boleh terjadi kalau usaha penurunkan kemiskinan sebelumnya sudah mencapai 6 persen. Masih bisa ”untung” 4 persen.
Baca Juga:Tunaikan Janji Politik, Kang Hengki Kucurkan Rp36 Miliar untuk Bantuan Keuangan RT/ RWTelkomsel Ajak Seluruh Pelanggan Upgrade dan Nikmati Jaringan 4G
Tapi di saat penurunan kemiskinan hanya 1,5 persen tambahan 2 persen akibat kenaikan BBMÂ membuat kita ”rugi” 0,5 persen.
Saya sangat memahami sulitnya pengambilan keputusan sekarang ini. Subsidi atau inflasi.
Anda masih ingat: harga minyak mentah sekarang ini bukan yang tertinggi. Harga itu pernah mencapai 112 dolar/barel.
Yang membuat pemerintah tetap tenang adalah: uangnya ada. Yakni dari kenaikan harga batu bara di pasar internasional. Gila-gilaan.
Durian runtuh dari batu bara ini cukup untuk menambal subsidi BBM. Sedang durian runtuh dari sawit lebih dari cukup untuk menambal subsidi pangan.
Pemerintah Jokowi memang seperti direstui alam. Dua komoditas ekspor kita luar biasa hebatnya: batu bara dan sawit. Ditambah nikel.
Curah hujan juga sangat baik selama 8 tahun terakhir. Belum pernah ada kemarau panjang selama pemerintahan Jokowi. Hasil bumi melimpah. Pangan berlebih di saat dunia mengeluhkan ancaman kekurangan pangan.
Baca Juga:Transaksi Bandung Barat Expo 2022 Capai Rp3,5 Miliar, Hengki: Momentum Promosi UMKMTanpa APBD, KBB Expo Banjir Sponsor
Presiden akan datang belum tentu mendapatkan dukungan alam sebaik ini. (Dahlan Iskan)