RUU KUHP tersebut juga memuat sejumlah pasal yang multitafsir, memuat “pasal karet”, serta tumpang tindih dengan undang-undang yang ada.
RUU KUHP mengancam kemerdekaan pers dan mengkriminalisasikan karya jurnalistik. Pasal-pasal tersebut adalah :
1) Pasal 188 tentang Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara;
2) Pasal 218-220 tentang Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden, perlu ditiadakan karena merupakan penjelmaan ketentuan-ketentuan tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006;
Baca Juga:Agar Food Estate Berhasil, Koordinasi Perlu DitingkatkanDekranasda KBB Bakal Kolaborasi bareng Shoppe
3) Pasal 240 dan 241 Tindak Pidana Penghinaan Pemerintah yang Sah , serta Pasal 246 dan 248 (penghasutan untuk melawan penguasa umum) HARUS DIHAPUS karena sifat karet dari kata “penghinaan” dan “hasutan” sehingga mengancam kemerdekaan pers, kebebasan berpendapat dan berekspresi;
4) Pasal 263 dan 264 Tindak Pidana Penyiaran atau Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong;
5) Pasal 280 Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan;
6) Pasal 302-304 Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan;
7) Pasal 351-352 Tindak Pidana terhadap Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara;
8) Pasal 440 Tindak Pidana Penghinaa : pencemaran nama baik;
9) Pasal 437, 443 Tindak Pidana Pencemaran.
Dewan Pers mengharapkan agar Anggota DPR dapat memenuhi asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf g Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam proses RUU KUHP.
Dengan memberikan kesempatan seluruh lapisan masyarakat untuk memberikan masukan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan secara transparan dan terbuka. (rls/idr)