Diantara dua lapangan terdapat jalan berbatu yang membelah kedua lapangan, yang merupakan jalan penduduk menuju ke kebon mereka. Melalui jalan berbatu tersebut, kira-kira 100 meter dari tempat tenda kami terdapat air terjun yang cukup besar yang airnya tidak pernah kering sepanjang tahun. Disisi sebelah kanan lapangan golf terdapat hutan pinus yang menambah keindahan pemandangan alam Bukit Golf. Rasanya kita benar-benar menyatu dengan alam pegunungan yang tenang, sejuk dengan anginnya yang berhembus sepoi-poi.
Sore itu kami berempat berjalan-jalan menyusuri lapangan untuk melihat-lihat keadaan disekitar lokasi kemah untuk orientasi lapangan. Mulai dari lapangan yang paling bawah kami menyusuri jalan setapak diantara pohon-pohonan yang banyak ditanam disitu.
Selesai menyusuri lapangan bawah kami pindah kelapangan atas yang merupakan lapangan terbesar. Kami berjalan sampai ujung lapangan yang merupakan hutan pinus dari perhutani. Kemudian kami belok kearah jalan berbatu yang membelah lapangan tersebut untuk kembali ke tenda kami karena waktu sudah menjelang maghrib.
Baca Juga:Quo Vadis Implementasi SDGs terhadap UMKM, Satu Kesatuan untuk Hapus KesenjanganBagaimana Peran Perempuan dalam Pertumbuhan Ekonomi pada Presidensi G20 Berdasarkan Bonus Demografi di Indonesia?
Setiba di tenda kami menyiapkan makan malam yang kami masak sendiri di depan tenda atau tepatnya di teras tendanya. Masak nasinya menggunakan magic Jar yang memang sudah kami persiapkan dari rumah bersama perlengkapan berkemah yang lain, seperti kompor portable, panci dan penggorengan. Karena di tenda tidak tersedia aliran lisrik, kami numpang di kantor pengelola untuk masak nasinya.
Ketika terdengar adzan Maghrib dari masjid terdekat dari situ, kami mengambil air wudhlu dari air pancuran didekat tenda, kemudian kami sholat maghrib berjamaah di depan tenda kami. Sungguh nyaman, sholat berjamaah di alam terbuka, dengan udara yang dingin dan ditengah hembusan angin yang sepoi-sepoi.
Malamnya setelah selesai sholat Isya, kami berempat keluar dari tenda, menggelar tikar yang kami bawa dari rumah. Sambil masak-masak dan bakar-bakar bekal yang sudah kami bawa dari rumah, kami membuat api unggun kecil-kecilan untuk mengusir hawa dingin yang sudah mulai menusuk tulang.
Suara gemericik air dan suara gemuruh angin yang menerjang pepohonan menemani kami menikmati bekal yang kami masak. Tidak jauh dari kami juga berdiri tenda-tenda seperti kami yang penghuninya juga seperti kami malam itu, membuat perapian untuk menghangatkan badan sambil masak-masak seadanya.