Delapan kecerdasan itu , pada dasarnya dimiliki oleh setiap manusia namun ada yang menonjol dan tidak. Salah satu contohnya adalah visual spatial Intelligence. Seseorang yang memiliki kecerdasan ini ia peka terhadap unsur garis, warna, bentuk, ruang dan hubungannya. Ia dapat memahami, memproses, dan berfikir dalam bentuk visual. Cirinya adalah ia suka menggambar, bermain puzzle, lebih mudah membaca gambar dari pada teks, dan hal lainnya yang berhubungan dengan visualisasi.
Pentingnya Mengasah Kecerdasan Visual Spasial Anak Sejak Dini dengan mengajarkan cara menggambar., aktivitas menggambar atau melukis dapat melatih imajinasi dan kreativitas anak, Ajak bermain hal-hal menarik, Rutin membaca dongeng dan cerita menarik.
Jika dikaitkan dengan pembelajaran di dalam kelas, apakah bisa seorang anak dengan kecerdasan visual spatial Intelligence diharuskan belajar dengan menghafal teks, membaca teks, menulis dan lainnya yang bisa terjadi di sekolah kebanyakan. Tentu saja bisa, hanya karena anak tersebut takut tidak mencapai kriteria ketuntasan mininal dalam pembelajaran. Lalu apa hasilnya? Hasilnya adalah anak tersebut tidak dapat belajar dengan maksimal, bahkan lebih fatalnya adalah kecerdasan yang dimiliki anak tidak berkembang.
Baca Juga:Sambut HUT Ke-77 RI, Satuan Linmas Lembang Latihan Baris Berbaris Dibimbing Babinsa CikahuripanRentetan Bencana Alam Terjang Kabupaten Bandung Barat, Terjadi di Enam Kecamatan
Kemampuan visual spasial memiliki indikator sebagai berikut: a. Individu yang cerdas secara visual (lebih) mudah membaca peta, gambar, grafik, dan diagram. b. Individu yang cerdas secara visual menonjol dalam seni lukis dan karya.
Pernah mendengar tentang anak yang pintar dari segi akademik tapi ia tidak bisa mengemukakan pendapat di depan umum? Atau anak yang pintar tapi dia tidak bisa bersosialisasi dengan teman-temannya, bahkan anak yang pintar menjadi tidak menjadi apapun dalam hidupnya. Contoh tersebut merupakan salah satu contoh ketika kecerdasan yang ia asah bukan kecerdasan yang ia miliki.
Pada abad 21 ini, guru cendrung merasa kekurangan waktu untuk menyampaikan materi pembelajaran sesuai dengan target pencapaian kurikulum. Akibatnya, pembelajaran di sekolah menjadi sangat instructional dan ekspositoriskarena guru dan siswa harus mencapai target kurikulum berupa academic excellence yang diukur dengan pendekatan behavioristik sesuai dengan rumusan tujuan yang operasional. Dengan demikian, guru-guru lebih banyak bekerja dengan tujuan (objektive). Mereka mengerahkan semua tenaga agar materi kurikulum dapat ditransmisikan semaksimal mungkin kepada para peserta didik untuk mencapai tujuan academic excellency.hal yang dilakukan sebagian guru yaitu denganmengarahkan kepada siswa untuk mengerjakan LKS yang di dalamnya berisi soal-soal tes objektif dan jawaban singkat mengenai fakta yang dianggap sebagai pembelajaran aktif.