Ia nyengir saja. Katanya, “Yah, tahulah Bang Jon itu Kapolres bayangan di kota ini…”
Bang Jon keluar dari sel sambil meringis dan mengusap-usap tangannya.
”Kekencengan, Rek…” katanya.
”Sudah kamu catat semua, Dur?” tanyanya padaku. Saya mengiyakan. “Nanti kamu tulis beritanya ya, pakai kode kita berdua. Bagian yang aku mukuli maling itu jangan kamu tulis…” katanya.
Di buku laporan itu saya sempat baca banyak catatan laporan kejadian lain yang buat saya sebagai wartawan sangat menarik. Ada pencurian di kompleks polisi, ada cewek karaoke yang lapor disiksa sama oknum polisi, ada perempuan yang laporkan penipuan oleh orang Singapura. Saya mencatat semuanya.
Baca Juga:Catatan Harian Dahlan Iskan: Rini JaringanKang Hengki Ajak Masyarakat Manfaatkan Pekarangan Rumah untuk Bercocok Tanam Sayuran dan Bahan Pangan
Saya bertanya pada Bang Jon, “kalau berita-berita yang lain itu mau saya tulis, kita konfirmasi dulu ke siapa ya, Bang?”.
Bang Jon malah melarang saya menulis berita itu. Dia bilang tulis yang maling motor di karaoke Abigail itu saja.
Tanda tanya di belakang kalimat siapa Jon ini makin besar di kepala saya.
Hari pertama yang tak pernah kulupakan. Tapi sejak itu, sosok Bang Jon di mataku mulai menjadi monster yang menakutkan. Dia lebih polisi ketimbang wartawan. Bahkan lebih polisi dari polisi (Dahlan Iskan & Hasan Aspahani – bersambung)