Desa Long Beluah pada awalnya dengan sebutan Loang Ngui Lemlai dari bahasa suku Ga’ai yang pertama kali mendiami Desa Long Beluah nama suatu wilayah yang ada di Kecamatan Tanjung Palas Barat, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, yang menurut beberapa tokoh masyarakat setempat dikenal karena keberadaan Desa di sekitar muara sungai yang panjang yang tidak pernah kering walaupun musim kemarau, dan sungai tersebut memiliki potensi sebagai tempat mencari kebutuhan/ nafkah hidup sehari-hari. Menurut cerita bahwa sebutan nama Long Beluah juga diartikan sebagai tempat persinggahan karena berada di pertengahan perjalanan bagi orang-orang yang dari hulu sungai kemudian singgah di tempat ini.
Long Beluah artinya sungai yang berada di tengah karena waktu perpindahan keluarga dari Long Lango jadi mereka berangkat dari Bahau (Kalimantan Timur) mereka pasti menginapnya di Long Beluah. Berdasarkan cerita dari berbagai nara sumber untuk Penamaan Desa Long Beluah pertama kali berasal dari nama sungai yang ada di tengah desa atau tepatnya di RT.VI yaitu sungai yang bernama “Beluak” yang artinya tengah yang akhirnya oleh masyarakat Desa kata Beluak menjadi Beluah. Penamaan Long Beluah bagi masyarakat Desa ini memiliki makna atau arti yang sangat mendasar, dimana sungai merupakan bagian dari penghidupan untuk masyarakat Desa itu sendiri. Sungai bukan hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat. Desa Long Beluah akan tetapi sungai juga dijadikaan tempat mata pencaharian seperti untuk mencari ikan serta sebagai sarana transnportasi dari masyarakat terdahulu hingga sekarang. Menurut cerita, karena Desa Long Beluah berada di tengah, maka Desa Long Beluah ini menjadi tempat persinggahan dari orang yang dari hilir ke hulu atau sebaliknya. Misalnya orang yang dari Tanjung Selor pasti akan singgah di Desa Long Beluah atau orang dari Hulu Sungai menuju Tanjung pasti akan singgah di Desa Long Beluah.
Dahulu masyarakat Kampung Long Beluah menganut kepercayaan animisme yaitu kepercayaan pada roh leluhur bahkan jika kemanapun, ada kepercayaan harus melakukan izin terdahulu kepada roh leluhur yang terkadang masih dipakai sampai sekarang. Kalau kemana-mana ada yang menghalangi seperti hewan ular, biawak, burung, dalam kenyakinan ini kurang baik pada waktu itu. Selain itu ada kepercayaan yang berkembang di kampung seperrti mereka mengenal adanya mitos misalnya kalau orang hamil tidak boleh makan di depan pintu, anak-anak tidak boleh makan di depan pintu gelantungkan kaki, penghitungan hari baik buruk, adanya ritual. Akan tetapi setelah masuknya agama lambat laun kepercayaan ini mulai ditinggalkan seperti ritual-ritual. Namun, tidak semua hilang atau ditinggalkan, masih ada sampai sekarang yang terus dilestarikan seperti apabila kita disajikan makanan maka kita setidak-tidaknya kita sentuh tidak boleh diabaikan yang istilahnya dkatakan nanti jadi “kepohonan”.